'/> Makalah Ulumul Hadis '' Sistematika Periwayatan Hadis '' (Metodologi) -->

Info Populer 2022

Makalah Ulumul Hadis '' Sistematika Periwayatan Hadis '' (Metodologi)

Makalah Ulumul Hadis '' Sistematika Periwayatan Hadis '' (Metodologi)
Makalah Ulumul Hadis '' Sistematika Periwayatan Hadis '' (Metodologi)

SISTEMATIKA PERIWAYATAN HADIS
(METODOLOGI)

 tanpa terkecuali telah setuju bahwa Hadis merupakan salah satu sumber fatwa Islam Makalah Ulumul Hadis '' SISTEMATIKA PERIWAYATAN HADIS ''  (METODOLOGI)

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
                                         Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : .........................
Oleh :
1.........................
2.........................
3.........................

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUSJURUSAN TARBIYAH/PAI20XXXXXX


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Suluruh umat Islam, tanpa terkecuali telah setuju bahwa Hadis merupakan salah satu sumber fatwa Islam. Ia menempati kedudukan yang sangat penting sehabis al Qur’an. Kewajiban mengikuti Hadis bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti al Qur’an. Hal ini alasannya yaitu Hadis merupakan mubayyin terhadap al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai Hadis, siapa pun tidak akan sanggup memahami Hadis tanpa memahami al Qur’an alasannya yaitu al Qur’an merupakan dasar aturan pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari’at, dan Hadis merupakan dasar kedua, yang didalamnya berisi pembagian terstruktur mengenai dan klarifikasi al Qur’an. Dengan demikian antara Hadis dan al Qur’an mempunyai kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak sanggup dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri.[1]
Al Qur’an sebagai sumber utama dan pertama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh alasannya yaitu itulah kehadiran Hadis, sebagai sumber fatwa kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al Qur’an tersebut.

B.       Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, sanggup diambil rumusan duduk masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana metode periwayatan Hadis?
2.      Bagaimana metode yang dipakai oleh para ulama?


BAB II
PEMBAHASAN

Terkadang sobat Nabi dalam memberikan info atau Hadis memulainya dengan kata-kata min as Sunnah. Menurut sebagian ulama, info yang dimulai dengan kata-kata ini juga disebut Hadis Nabi, berdasarkan sebagian ulama lainnya, Ibn Hazm, info tersebut tidak sanggup dipastikan sebagai info yang berasal dari Nabi. Sebab, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa info itu otentik dari Nabi. Sebagian ulama lagi berpendapat, info itu hasil ijtihad sobat yang bersangkutan. Sehingga, diharapkan penelitian terlebih dahulu untuk sanggup diketahui info tersebut Hadis Nabi ataukah bukan.

A.      Metode Periwayatan Hadis
Adapun metode yang dipakai untuk meriwayatkan Hadis, yaitu sebagai berikut :
1.         As Sima’i Min Lafdzi As Syekh
As Sima yaitu mendapatkan Hadis dengan cara mendengarkan pribadi perkataan gurunya,dengan cara ditekan baik dan hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Cara ini disepakati Jumhur mahir Hadis sebagai cara penerimaan Hadis yang paling tinggi tingkatannya, tetapi ada pula yang mengungkapkan bahwa as Sama’ yang disertai dengan al Khitobah  memiliki nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya.[2]
Bentuknya : seorang syekh membacakan Hadis, sedang murid mendengarkannya, sama saja apakah syekh tersebut membaca dari hafalannya atau kitabnya, begitu pula murid mendengar dan mencatat apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulisnya.
Tingkatannya : cara mendengar (as Sama’) yaitu cara yang tertinggi nilainya dari cara-cara mendapatkan Hadis, berdasarkan pendapat jumhur.
2.         Al Qira’atu Alas Syekhi
Membaca di hadapan Syaikh yaitu mendapatkan Hadis dengan cara seseorang membacakan Hadis di depan gurunya, baik beliau sendiri yang membacakan ataupun orang lain sedang guru mendengar atau menyimaknya.
Kebanyakan mahir Hadis menyebutkan “Ardlan”. Bentuknya : yaitu seorang membaca sedangkan guru mendengarkan, sama saja apakah ia sendiri yang membaca suatu Hadis atau orang lain sedang ia mendengarkannya, dan sama saja baik bacaannya dari hafalan atau dari suatu kitab, begitu pula sama saja guru tersebut mengikuti kepada orang yang membaca Hadis dari hafalannya atau ia sendiri menyodorkan kitab atau orang tsiqot lainya.[3]
Hukum riwayatnya : riwayat dengan qiro’at bantalan syaikh yaitu riwayat yang shohih, tanpa ada perbedaan dalam semua bentuk-bentuk tersebut, kecuali apa yang diceritakan dari sebagian orang yang dibilang dari orang-orang keras.
3.         Al Ijazah
Definisinya : yaitu perizinan untuk meriwayatkan baikk secara lafdzi maupun berupa kitab.
Bentuknya : yaitu seorang syekh menyampaikan kepada muridnya “Ajaztu Laka an Tarwiya ‘Anni Shahiha al Bukhory” (aku mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku Shohih Bukhori).
Macam-macamnya ; untuk ijazah terdiri banyak macam, saya akan sebutkan lima macam dari padanya, yakni :
a.         Seorang syekh mengizinkan riwayat tertentu untuk seorang tertentu, ibarat “Ajaztuka Shahiha al Bukhoriy” (saya mengijinkan kepadamu Shohih Bukhori) : macam ini merupakan yang paling tinggi dari macam-macam ijazah yang berasal dari Munawalah.
b.        Mengizinkan kepada seorang tertentu dengan suatu riwayat yang tidak tertentu, ibarat “Ajaztuka Riwayata Masmuati” (aku mengijazahkan kepadamu akan suatu riwayat yang telah saya dengar).
c.         Mengijazahkan kepada orang yang tidak tertentu akan suatu riwayat yang tidak tertentu ibarat “Ajaztu Ahla Zamani Riwayata Masmu’ati” (aku ijazahkan pada orang-orang dizamankan akan suatu riwayat yang saya dengar).[4]
4.         Al Munawalah
Al Munawalah didefinisikan bahwa seorang guru memperlihatkan Hadis atau beberapa Hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan.[5]
Macam-macamnya yaitu terlepas dari ijazah : dan bentuknya yaitu seorang syeikh (guru) menyerahkan kitabnya kepada muridnya dengan hanya menyampaikan secara ringkas ini yaitu riwayat yang saya dengar.
Sedangkan yang dibarengi dengan ijazah : dan ia merupakan potongan ijazah yang paling tinggi secara mutlak.
Hukum riwayatnya, adapun yang dibarengi ijazah : maka boleh meriwayatkannya. Dan ia tingkatannya lebih rendah dari as Sima’ dan qiro’ah bantalan syeikh. Adapun yang terkepas dari ijazah maka dihentikan meriwayatkannya berdasarkan pendapat yang shohih.
5.         Al Khitobah
Al Khitobah adalah guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian Hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir denan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.[6]
Bentuknya : yaitu seorang syeikh menulis riwayat yang didengarkannya kepada orang yang hadir atau yang tidak hadir dengan tulisannya sendiri atau dengan perintahnya.
Macam-macamnya yaitu yang dibarengi dengan ijazah ibarat “Ajaztuka Makatabtulak Au Ilaik” (Aku ijazahkan kepadamu apa yang saya tulis untukmu atau saya berikan kepadamu), semacamnya. Sedangkan yang terlepas dari ijazah, ibarat “an Yaktubalah Ba’da al Ahadista Wayursila Halah Wa La Yujizah Biriwayatiha” (aku tulis untukmu sebagian Hadis kemudian saya kirimkan kepadamu dan tidak mengijazahkan riwayat tersebut kepadanya).
Hukum riwayatnya yaitu untuk yang dibarengi dengan ijazah : maka meriwayatkannya yaitu shahih, ia sah dan berpengaruh ibarat munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Sedang untuk yang dibarengi dengan ijazah : maka sekelompok ulama membolehkannya, sementara yang lainnya melarangnya, sedang yang berpengaruh yaitu boleh berdasarkan mahir Hadis, alasannya yaitu dirasa ibarat ijazah.
6.         Al I’lam
Bentuknya : seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini merupakan hasil pendengarannya sendiri.
Tidak boleh : pendapat tidak hanya satu orang dari Muhadisin dan yang selain dari mereka. Dan inilah yang benar, alasannya yaitu seorang syekh atau guru diketahui bahwa Hadis ini benar-benar riwayatnya. Akan tetapi dihentikan diriwayatkan alasannya yaitu di dalamnya terdapat beberapa cacat, memang benar, seandainya ia mengijazahkan riwayatnya, maka boleh meriwayatkannya.[7]
Lafadz-lafadz penyampaian (ada’) : dalam memberikan Hadis ia menyampaikan “A’lamani Syaikhi Bikadza” (telah mengi’lamkan kepadaku guruku dengan ibarat begini”
7.         Al Washiyyah
Al Washiyyah yakni seorang periwayat Hadis mewasiatkan kitab Hadis yang diriwayatkannya kepada orang lain. Waktu berlakunya ditentukan oleh orangyang diriwayatkannya kepada orang lain dalam hal ini sanggup saja mulai berlaku sehabis pemberi wasiat meninggal dunia atau dikala dalam perjalanan. Bentuknya : yaitu seorang syeikh atau guru mewasiatkan dikala akan meninggal atau akan bepergian kepada seseorang tertentu berupa sebuah kitab-kitabnya yang ia riwayatkannya.
Hukumnya yaitu boleh : berdasarkan sebagian ulama salaf, pendapat ini salah, alasannya yaitu beliau mewasiatkan sebuah kitabnya sedang beliau tidak mewasiatkan untuk meriwayatkannya. Dan tidak boleh : dan ini yaitu pendapat yang benar.
8.         Al Wijadah
Dengan kasrah wawu, isim masdar dari kata “Wajada” dan ini merupakan masdar muwallad yang tidak pernah di dengar dari kalangan orang Arab.
Bentuknya : yaitu seorang murid mendapatkan beberapa Hadis dengan goresan pena syeikh atau guru yang tidak diriwayatkannya, murid tersebut mengetahuinya sendiri, ia tidak melalui sima’ dan tidak pula melalui cara ijazah.[8]
Hukum meriwayatkannya : periwayatan dengan wijadah yaitu termasuk potongan munqoti’, akan tetapi di dalamnya terdapat potongan yang muttasil.

B.       Metode yang Digunakan Para Ulama
Para penulis mempunyai beberapa metode dalam penyusunan Hadis. Metode yang dipakai oleh para ulama tersebut yaitu :
1.      Metode masanid
Al Masanid, jama’ dari sanad, maksudnya buku-buku yang berisi perihal kumpulan Hadis setiap sobat secara tersendiri, baik Hadis Shohih, Hasan, atau Dlaif.[9]

Al Masanid yang dibentuk oleh para ulama Hadis jumlahnya banyak. Al Khittani dalam kitabnya Ar Risalah Al Mustathrofah meneyebutkan jumlahnya sebanyak 82 musnad.[10]
2.      Al Ma’ajim
Al Ma’ajim yaitu jama’ dari mu’jam. Menurut istilah para mahir Hadis, al-mu’jam yaitu buku yang berisi kumpulan Hadis yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai dengan karakter hijaiyah.
3.      Az Zawaid
Az Zawaid yaitu karya yang berisi kumpulan Hadis embel-embel terhadap Hadis yang ada pada sebagian kitab yang lain. Karya yang populer dalam bidang ini antara lain Misbah Az Zaujajah fi Zawaid Ibnu Majah karya Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Al Bushairi dan Majma’ Azzawaid wa Manba’ul Fawaid karya Al Haitsani.[11]



BAB III
KESIMPULAN

Dari isi makalah di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa metode periwayatan Hadis dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu as-Sama’ contohnya yaitu seorang murid yang mendengarkan hadis dari gurunya sendiri dengan cara didekte atau dibacakan dengan pelan-pelan. Dan misalnya lagi al-Wijadah yaitu seseorang yang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara sama’, Ijazah atau Munawalah
Sedangkan metode yang dipakai oleh para ulama pada umumnya yaitu metode Masanid. Adapun musnad-musnad yang paling populer yaitu Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud At-Thayalisi dan musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Contohny selanjutnya yaitu Azzawaid, karya yang berisi kumpulan hadis embel-embel terhadap hadis yang ada pada sebagian kitab yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta : PT Raja Grafindo. 1993
Thahhan, Mahmud. Ulumul Hadis. Yogyakarta : Titian Ilahi Press. 1997.
Farida, Umma. Metode Penelitian Hadis. Kudus : Nora Media Enterprize. 2010.
Salim, Fathi, Muhammad. Hadis Ahad dan Aqidah. Bangil Jatim : Darul Bayariq. 2001.
Baidan, Nashirudin. Metodologi Penafsiran Al Qur’an. Surakarta : 1997.
Agus, Sholahuddin, Muhammad. Ulmul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia. 2009.
Umar. Ilmu Hadis. Kudus : Nora Media Enterprize. 2011.




[1] Agus Solahudin,Ulumul Hadis, 2009, hal 73
[2] Umma Farida, Metode Penelitian Hadis, 2010,  hal. 10-12
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, 1993,hal..33
[4] Ibid, hal. 14
[5] Ibid, hal. 15.
[6] Ibid, hal. 16.
[7] Umar, Ilmu Hadis, 2011, hal. 35
[8]  Ibid, hal. 18.

[9] Ibid, Solahudin, hal. 64

[10] Ar-Risalah Al Mustathrafah Hal. 46-47
[11] Al-Qaththan, Op. Cit. Hal. 54-55
Advertisement

Iklan Sidebar