'/> Contoh Makalah Pendidikan Islam Kontemporer; Persoalan Utama, Tantangan Dan Prospek -->

Info Populer 2022

Contoh Makalah Pendidikan Islam Kontemporer; Persoalan Utama, Tantangan Dan Prospek

Contoh Makalah Pendidikan Islam Kontemporer; Persoalan Utama, Tantangan
Dan Prospek
Contoh Makalah Pendidikan Islam Kontemporer; Persoalan Utama, Tantangan
Dan Prospek
PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER:

PROBLEM UTAMA, TANTANGAN DAN PROSPEK

Sebagai the agent of social change, pendidikan Islam dituntut untuk bisa memainkan kiprah secara dinamis dan proaktif. Di antara belitan banyak sekali problem besar, ia dihadapkan pula pada banyak sekali tantangan dan prospek ke depan.. Mampukah pendidikan Islam keluar dari belitan permasalahan tersebut dan ikut ambil pecahan secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan sosio-kultural Global Village remaja ini? Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di banyak sekali bidang dalam siaran dan terintegrasi dengan Islam, merupakan kata kunci yang harus dipercepat prosesnya, baik pada dataran teoritis maupun praksis.

A.    PENDAHULUAN


Perkembangan yang cukup signifikan pada paruh pertama masa XX yaitu semakin meningkatnya intensitas usaha negara-negara Muslim Untuk melepaskan diri dari dominasi kolonial Barat. Perjuangan tersebut banyak membuahkan hasil, dengan dicapainya kemerdekaan di banyak negara Muslim. Namun dengan kemerdekaan yang dicapai tersebut, tidak berarti pula mereka telah lepas sama sekali, dari bayang-bayang dan dominasi Barat. Tidaklah gampang untuk merubah tatanan politik dan sosio-kultural Barat yang telah cukup usang mengakar kuat dalam banyak sekali aspek kehidupan mereka.

Upaya-upaya untuk melepaskan diri dari hegemoni Barat terus bergulir. Kenyataan tersebut sanggup dicontohkan dengan munculnya bias di dalam menerapkan sistem pemerintahan ke negara-negara Muslim. Ada yang berpegang pada bentuk kerajaan; ada yang menerapkan sistem Kerajaan plus Perdana Menteri; ada yang mengangkat Presiden dan Perdana Menteri; atau yang hanya Presiden. Hal tersebut tentunya akan kuat pula terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan di sektor pendidikan.

Berbicara ihwal Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di negara-negara Muslim pada masa XXI, meskipun terdapat beberapa kasus perkecualian, maka akan dijumpai polarisasi baik dari aspek epistemologis, ontologis maupun aksiologisnya. Baik sistem, tujuan hingga pada dataran operasionalnya masih menjadi materi kajian yang debatable di kalangan para andal pendidikan Islam.

Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang kini dikembangkan __baik sistem maupun substansinya__adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan gres yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat tambal-sulam. Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari imbas Barat yaitu suatu hal yang imposible. Harus diakui bahwa sebagian besar negara Islam masih merupakan negara Dunia ketiga (miskin atau masih berkembang), yang ketika ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh negara-negara Barat, yang mau tidak mau jalur atau track track tersebut harus dilalui oleh negara-negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan representasi pemikiran pendidikan islam yang komperhensif cukup jarang dijumpai. Dalam hal ini kitab Ta’limu al Muta’alim al-Zarnuji sajalah yang -boleh jadi- dipandang sebagai pemikiran yang komperhensif ihwal pendidikan Islam. Sementara, pemikiran-pemikiran pendidikan dari para tokoh lain menyerupai al-Ghazali, al- Mawardi ataupun Ibnu Khaldun, merupakan serpihan-serpihan yang berantakan di banyak sekali karyanya. Sehingga cukup sulit bagi para pakar pendidikan Islam remaja ini untuk menggali dan menyebarkan pemikiran-pemikiran orisinal dari kalangan Muslim sendiri, supaya tidak dicap meniru produk Barat.

Rahman menyatakan bahwa, faktor yang makin membuat lebih complicated adalah, bahwa pendidikan gres tersebut telah dicangkok dari organisme hidup lainnya di Eropa, dengan background kultural, struktur internal dan konsistensinya sendiri. Meskipun hal menyerupai ini juga pernah terjadi pada masa awal Islam dengan mengalirnya filsafat dan sains yunani dalam intelektual Islam dan aliran spiritual. Perbedaan pokok yang terjadi kini yaitu bahwa peradaban Yunani telah musnah sementara peradaban Islam tetap hidup dan kuat serta bisa menghadapi tantangan dari sains Yunani dalam terma-termanya sendiri. Tetapi Peradaban Islam menghadapi sains barat moderen, pada banyak sekali posisi yang tak menguntungkan -secara psikologis maupun intelektual- yang disebabkan oleh dominasi politik, aksi ekonomi dan hegemoni intelektual Barat.[1]

Tulisan ini berupaya menyorot problem-problem utama yang dihadapi Pendidikan Islam kontemporer yang antara lain meliputi; Dikhotomi, masih bersifat terlalu general dan belum -paling tidak kurang- adanya “problem-soving” dari ilmu yang menjadi materi kajian (Too general knowledge – No problem solving), rendahnya semangat penelitian (Lack of spirit of inquiry), Memorisasi, dan Orientasi pada ijazah/sertifikat (Certificate oriented)

 

B.     SITUASI SOSIO-KULTURAL


Situasi dunia secara umum, oleh Tibi digambarkan bahwa, muncul perjuangan-perjuangan dan konflik di dalam masyarakat dunia kita yang mengambil bentuk-bentuk regional pada semua level, baik ekonomi, politik dan budaya. Konflik yang secara luas terjadi yaitu antara budaya Barat yang sangat lebih banyak didominasi dengan tradisi ilmu bersifat pre-industrial, yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap alam. Masyarakat dunia, oleh Tibi, dipandang sebagai masyarakat non-egalitarian lantaran mempunyai struktur yang asymmentric.[2] Dari sinilah pangkal tolak munculnya subordinasi Non-Barat terhadap Barat. Dunia Barat dengan kekuatan kultur industrinya yang ditopang dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa menaklukkan dan menata kembali sebagian besar negara-negara Perindustri (negara-negara Dunia Ketiga). Tibi mencatat bahwa gap antara masyarakat Industri (yang disebut dengan Kelompok Utara) dengan masyarakat Perindustri (yang disebut dengan kelompok Selatan) semakin lebar dalam kurun 1970-an.[3]

Situasi tersebut merupakan buah yang dipetik dari kegagalan masa sebelumnya yang terus berlangsung. Rahman menggambarkan bahwa, sejenis sekularisme telah muncul di dunia Islam pada masa-masa premoderenis yang disebabkan lantaran kemandegan pemikiran Islam (the stagnation of Islamic thinking) pada umumnya, dan pada khususnya, disebabkan oleh kegagalan aturan dan lembaga-lembaga shari’ah menyebarkan diri dalam upaya memenuhi tuntutan kebutuhan dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini terang mensugesti jalannya moderenisasi Islam, khususnya dalam lapangan pendidikan.[4]

Selanjutnya, proses modernisasi di banyak sekali tempat Muslim menampakkan perbedaan-perbedaan substansial, yang disebabkan oleh empat faktor: (1) apakah suatu wilayah budaya akan tetap mempertahankan kedudukannya vis-a-vis perluasan politik Eropa atau ia didominasi dan diperintah oleh sebuah negara kolonial Eropa, baik secara de jure maupun de facto, (2) karakteristik organisasi ulama atau kepemimpinan keagamaan, dan sifat korelasi mereka dengan institusi-institusi pemerintah sebelum terjadinya penjajah; (3) keadaan perkembangan pendidikan Islam dan budaya yang menyertainya sesaat sebelum terjadinya penjajahan; dan (4) sifat kebijakan kolonial secara keseluruhan dari kekuatan penjajah tertentu menyerupai Inggris, Perancis atau Belanda.[5]

C.    PROBLEM UTAMA
Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam pada umumnya setidaknya sanggup diklasifikasikan dalam lima hal. Jika dianalisis, maka sanggup disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian yang saling kait-mengkait dan berjalan secara berkelindan. Persoalan-persoalan tersebut yaitu sebagai berikut:

1.      Dichotomic


Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam yaitu dikhotomi dalam beberapa aspek yaitu; antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikhotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung semenjak lama. Boleh dibilang tanda-tanda ini mulai tampak pada masa-masa Pertengahan. Rahman dalam melukiskan tabiat ilmu pengetahuan Islam zaman Pertengahan menyatakan bahwa, munculpersaingan yang tak pernah berhenti antara Hukum dan Teologi untuk mendapat julukan sebagai ‘mahkota semua ilmu’. Tetapi penutupan pintu ijtihad (yakin pemikiran orisinal dan bebas) yang berlangsung selama masa 4H/10M dan 5H/11M telah membawa kepada kemandegan umum baik ilmu Hukum maupun ilmu Intlektual.[6]

Watak ilmu pengetahuan Islam zaman Pertengahan tersebut ternyata juga diikuti oleh pendangan ulama yang juga tidak jauh berbeda. Rahman mengutip pendangan  Syatibi yang menyatakan bahwa, “mencari ilmu apa pun yang tidak bekerjasama pribadi dengan amal yaitu terlarang (forbidden)”. Menurut Rahman, Judgement tersebut, kalau ditujukan kepada pemikiran yang sia-sia, yaitu cukup valid, dan pragmatisme modern juga telah menempuh perilaku korektif yang serupa terhadap jenis-jenis pemikiran murni di Barat. Tetapi dalam pernyataan para penulis muslim zaman pertengahan, prinsip ini tidak hanya mengesampingkan filsafat, tetapi bahkan juga matematika, kecuali ilmu berhitung tingkat dasar. [7] Seyyed Hossein Nasr menyatakan, dari sudut pandang ilmu pengetahuan, suatu dogma atau inspirasi entah itu benar atau salah, tidak bisa begitu saja disisihkan atau diabaikan kalau keberadaannya diketahui. Perlu diketahui, pandangan-pandangan mereka (para ilmuwan) tidak bisa  begitu saja diabaikan. Jika pandangan mereka benar maka harus diterima dalam bagan ilmu pengetahuan Islam dengan pertimbangan nilai universal, atau kalau mereka salah, maka harus diantah. Dalam kedua kasus tersebut harus dipelajari dan akan lebih baik kalau diketahui.[8]

Mengenai pendidikan Teknik dan kejuruan, Tibawi ketika menyimpulkan potret pendidikan Islam di Arab masa XX menyebutkan bahwa, secara keseluruhan -dengan sedikit kemungkinan perkecualian- pendidikan Kejujuran dan Teknik yaitu tidak lebih dari sekedar hiasan (decorative) yang berbeda di pinggiran dan sistem-sistem Nasional (Arab),[9] dengan kata lain pendidikan kejujuran dan Teknik menempati prioritas ke sekian. Terdapat kecenderungan untuk berkonsentrasi pada pendidikan akademis yang lebih berorientasi pada posisi di pemerintahan atau profesi-profesi umum daripada pendidikan kejuruan dan teknik; pendayagunaan kemampuan tangan (ketrampilan) sebagaimana budi masih merupakan sesuatu yang aneh (alien) dalam konsep pendidikan Islam (moderen) sebagaimana telah berkembang pada kultur-kultur par-modern.[10]

Masih ihwal potret pendidikan Islam di Arab, pandangan dikhotomik ini berdampakcukup luas terhadap aspek-aspek lain. Tibawi mencatat munculnya ketidakseimbangan antara jumlah siswa laki-laki dan perempuan di semua jenjang, antara kuantitas dan kualitas pendidikan Kejuruan Mudah dengan pendidikan di perkotaan dengandi pedesaan. Persoalan besar dari ketidakseimbangan itu yaitu anggapan masyarakat yang negatif (social prejudice) yang masih menempel ihwal kehadiran atau keberadaan pendidikan bagi kaum wanita.[11]

Tokoh-tokoh menyerupai Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan ataupun modernis-modernis Turki Klasik seperti, Cevdet Pasyadan Namik Kemal, tak seorang pun kelihatannya mendukung diberikannya pendidikan moderen bagi kaum perempuan dalam garis tradisional dan domestik.[12]

Aspek lain yang cukup menjadi perhatian pada era kini yaitu informasi lingkungan. Banyak dari negara-negara Muslim -kalau tidak bisa dikatakan semua- merupakan negara yang cukup kaya dengan sumber daya alam. Tinur Tengah populer sebagai negeri-negeri “Petro dollar”, negeri Muslim Afrika yang cukup kaya dengan banyak sekali mineral atau mereka yang terletak di daerah khatulistiwa, sebagai negeri tropis, yang juga kaya dengan sumber daya alam. Itu semua –sebenarnya- merupakan kekuatan besar bagi kemajuan negeri-negeri Muslim tersebut, bila mereka mempunyai kapabilitas untuk menggarap secara optimal namun tetap memperhatikan aspek lingkungan. Namun yang terjadi, kekayaan alam justru telah “memanjakan” mereka sehingga kekayaan alam itu justru banyak dinikmati oleh negara-negara Barat yang mempunyai kemampuan lebih.

Lebih dari itu, sebagaimana tersurat pada awal pecahan ini, “ayat-ayat Allah” yang dihamparkan di alam semesta, berupa kekuatan-kekuatan natural atau gejala-gejala alam (sunnatullah)[13] kurang bisa dibaca serta dipahami dengan baik oleh kaum Muslim.

2.      To General Knowledge


Kelemahan dunia Pendidikan Islam berikutnya yaitu sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian kasus (problem-solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi banyak sekali permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan kasus tersebut merupakan abjad dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intlektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual yaitu tidak adanya kemampuan untuk berpikir dan tidakmampu untuk melihat konsekuensinya.[14]

Sebuah artikel ihwal Kesepakatan Penyatuan Budaya Arab yang ditandatangani tahun 1964 mendefinisikan tujuan umum pendidikan moderen Arab sebagai berikut:

Penciptaan generasi-generasi Arab yang percaya kepada Tuhan, loyalkepada tanah air Arab, mempunyai keyakinan yang kuat kepada diri dan bangsa sendiri, sadar akan tanggung jawabnya terhadap bangsa dan kemanusiaan…..membekali diri dengan sains dan moral, juga membagi kemakmuran terhadap masyarakat Arab dengan tetap menjaga posisi kejayaan Arab, menjaga hak-hak dan kemerdekaan, keamanan dan menghargai kehidupan……..

Menurut Tibawi tujuan terssebut terkesan lebih bersifat ideal daripada praktis, dan lebih berorientasi kepada kepentingan nasional/bangsa daripada kemanfaatan bagi warga negara secara individual. Tidak ada klarifikasi dan filsafat yang komperhensif sejauh ini, yang diformulasikan baik pada tahapan yang bersifat umum maupun yang dipandang khusus dalam pendidikan. There is still a great deal of generalization.[15]

Adalah banyak dijumpai di beberapa negara Muslim, khususnya bekas jajahan Perancis, Fakultas seni dan aturan menjadi fakultas yang paling penting,faculte des lettres dan faculte des droits mendominasi seantero kampus. Para lulusan dari fakultas-fakultas tersebut mendapat pedoman ilmu yang bersifat general, yang satu terlalu general dengan fungsi-fungsi simpel dan yang lainnya dengan hafalan, tanpa memperlihatkan perhatian terhadap usaha pemecahan masalah(problem-solving).[16]



3.      Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambaat kemajuan dunia Pendidikan Islam yaitu rendanya sangat untuk melaksanakan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan the spiritus rector dari modernisme Islam, al-Afghani, menganggap rendahnya “the intellectual spirit (semangat intlektual) menjadi salah satu vfaktor terpenting yang mengakibatkan kemunduran Islam di Timur Tengah. Hal tersebut masih dioeroarah dengan;semangat untuk menyelidiki/meneliti, rasa cinta untuk mencari ilmu, dan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan serta Ilmu Rasional tidak berkembang luas di negara-negara dunia ketiga.[17] Alatas yang mengajar di Singapura itu, mengutuk rendahnya “Spirit of inquiry” di kalangan para intelektual di negara-negara berkembang.[18]

Pendidikan model barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari westernisasi. Alatas menggambarkan: “Signifikansi pendidikan kolonial terletak pada usaha-usahanya untuk menghambat munculnya tradisi intelektual, bahkandalam suatu masyarakat yang masih mempunyai tradisi bodoh sekalipun. Regime Kolonial membuat kebiasaan pacuan kuda, minum bir, kehidupan klub, musik yang bercitarasa barat, dan jenis-jenis lainnya. Ia (regime Kolonial) bisa saja merangsang ketertarikan intelektual dalam skala yang besar, tapi hal itu tidak dilakukan.[19]

Dalam masyarakat Muslim di mana lembaga-lembaga pendidikan tinggi mempunyai akar kuat terhadap cara-cara hafalan, isi (content) dari sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap di ajarkan dengan model yang sama (hafalan). Ayat-ayat Al-Qur’an dipelajari dengan hati alasannya yaitu ayat-ayat tersebut yaitu tepat dan tidak untuk diselidiki apa yang terkandung di dalamnya (not to be inquired into).[20]

4.      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, lantaran jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekai, maka waktu yang diharapkan untuk mencar ilmu juga terlalu singkat bagi siswa siswa untuk sanggup menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, ihwal aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya mrnjadikan mencar ilmu lebih banyak bersifat studi tekstual dari pada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menjadikan dorongan untuk mencar ilmu dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan memperlihatkan bahwa abad-abad Pertengahan yang final hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal. Fenomena ini berkembang secara mendasar dari kebiasaan-kebiasaan berkonsentrasi pada buku dan bukunya pada pelajaran. Bisa dipastikan bahwa banyak pemikiran yang orisinil dan seringkali juga mempunyai kadar orisinalitas besar terdapat pada karya komentar-komentar tersebut, tetapi orisinalitas yang mendasar dalam suatu subyek yaitu relatif jarang.[21]

Sinyalemen Tibi menyebutkan bahwa Universitas Islam di Arab dan Afrika dengan banyak sekali bidang studinya, mendasarkan semata-mata pada kapasitas mencar ilmu model hafalan (rote learning) dalam rangka mencapai kelulusan. Di sebagian negara berkembang, rote learning mengambil tempat di publik dan bisa diamati oleh siapapun di jalan dan sudut-sudut kota.[22]

5.      Certificate Oriented
Di antara semua umat atau masyarakat, orang-orang Islam mempunyai kenukan dalam menyebarkan sains (‘ilm) terhadap penyebarluasan tradisi keagamaan (hadit). Bagi Muslim yang saleh ilmu hadith telah menjadi ilmu yang par excelence. Hal tersebut menjadi sesuatu yang mendasari kiprah bagi mereka yang disebut ilmuwan, dalam merespon salah satu hadith Nabi yang cukup kondang: “Carilah ilmu walaupun hingga ke negri Cina”, menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hingga ke luar wilayah kekhalifahan. Perjalanan-perjalanan tersebut (al-rihlah fi talab al’ilm) mempunyai derajat yang tinggi di antara perbuatan-perbuatan yang saleh; barang siapa yang mati dalam perjalanan mencari ilmu yaitu menyerupai mereka yang mati (sahid) di medan perang suci.[23] Semangat inilah yang menjadi pola yang diterapkan dan dikembangkan pada masa-masa awal Islam dalam pencarian, pengumpulan dan penyeleksian Hadith menjad suatu disiplin yang memenuhi kriteria-kriteria ilmiah. Hitti menyebutnya sebagai “keunikan” yang belum dijumpai dalam masyarakat lain semasanya.

Potret di hampir seluruh universitas Islam di Arab dan Afrika berdasarkan Tibi bahwa, para mahasiswa yang telah menuntaskan studi dengan metode rote-learning dibekali dengan sebuah sertifikat/ijazah tetapi bukan dengan “kualitas substansial”, yang sanggup di terapkan atau dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Belajar, oleh kebanyakan orang dianggap hanyalah alasan pemenuhan kebutuhan perut (a bread winning ticket) atau ticket untuk masuk ke posisi-posisi yang lebih baik. Dalam perbincangan dengan otoritas akademik di banyak sekali negara Muslim dan berkembang lainnya, pada tuntutan akademik terhadap disiplin/lapangan mereka sesuai dengan jenjang akademik yang diperolehnya, dan yang terpenting lagi, terhadap universitas-universitas dari mana mereka berasal.[24]

Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam; yaitu Talab al-ilm, telah memperlihatkan semangat di kalangan Muslim untuk gigih mencari ilmu, melaksanakan perjalanan jauh penuh resiko guna mendapat kebenaran suatu Hadith, mencari guru di banyak sekali tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memperlihatkan kode bahwa karakteristik para ulama Muslim masa-masa awal di dalam mencari ilmu yaitu knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan kalau pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memperlihatkan banyak bantuan berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, kalau dibandingkan dengan pola yang ada pada masa kini dalam mencari ilmu memperlihatkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapat sertifikan atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya. Fenomena tersebut memunculkan kelompok intelek yang kurang atau bahkan tidak capable, yang pada gilirannya akan berguguran oleh seleksi alam.

D.    Tantangan dan Prospek
Tantangan

Pendidikan diyakini merupakan salah satu biro perubahan sosial. Pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel moderenisasi atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk mencapai kemajuan. Karena itu banyak andal pendidikan yang berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kearah moderenisasi”. Tetapi pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai obyek moderenisasi atau pembangunan. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang telah menjalankan aktivitas moderenisasi pada umunya di pandang masih bodoh dalam banyak sekali hal, dan lantaran itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung aktivitas pembangunan. Karena itu aktivitas pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga sanggup memenuhi impian dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.[25]

Rahman menarik satu benang merah dari pandangan 5 tokoh Muslim yaitu; Sayyid Akhmad Khan, Sayyid Amir ‘Ali, Jamaludin al-Afghani, Namik Kemal dan Muhammad Abduh, terdapat krisis yang melanda dunia pendidikan Islam. Bagian-bagian integral dari daypikir mereka yaitu (1) bahwa tumbuh suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah dari masa kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum muslimin yaitu buah dari usaha memenuhi usul Al-Qur’an semoga insan mengkaji alam semeta hasil karya Tuhan, yang membuat baginya; (2) bahwa pada abad-abad pertengahan yang final semangat penyelidikan ilmiah telah merosot dan karenanya masyarakat Muslim mengalami kemandegan dan kemerosotan; (3) bahwa Barat telah mengalahkkan kajian-kajian ilmiah yang sebagian besarnya telah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karenanya mereka mencapai kemakmuran, bahkan selanjutnya menjajah negeri-negeri Muslim; dan (4) bahwa lantaran kaum Muslimin, dalam mempelajari kembali sains barat yang telah berkembang, berarti menemukan kembali perintah Al-Qur’an yang telah terabaikan.[26] Pandangan ini nampaknya sanggup direkomendasikan menjadi semangat utama untuk mengejar ketertinggalan kaum Muslimin.

Hal terpenting dan paling mendesak dari sudut pandang ini yaitu “melepaskan kaitan” secara mental dengan bangsa Barat serta menanamkan suatu perilaku yang independent namun penuh pengertian terhadapnya, sebagai terhadap peradaban-peradaban lain, meskipun lebih dikhususkan kepada barat lantaran ia merupakan sumber dari banyak perubahan sosial di seluruh dunia. Selama kaum Muslimin tetapi terbelenggu kepada Barat secara mental, bagaimanapun mereka tidak akan bisa untuk bertindak secara independent dan otonom.[27] Pokok permasalahan dari seluruh kasus ”moderenisasi” pendidikan, yang diharapkan bisa menjadi biro perubahan sosial (agent of social change), yaitu membuatnya bisa mencetak produktivitas intelektual yang kreatif dan dinamis dalam semua bidang usaha intelektual yang terintegrasi dengan Islam.

Sikap anti barat yang berlebihan dan tidak realistis justru menggiring dunia pendidikan Islam mengalami kemerosotan. Sikaptersebut terimplementasi ke dalam penolakan ilmu-ilmu “sekuler” yang disinyalir  merupakan produk Barat, sehingga dari sinilah pangkal tolak munculnya dikhotomi. Berpangkaldari dikhotomi inilahmasalah terus bergulir bagaikan ‘bola salju’ yang kian usang kian membesar. Ilmu-ilmu “sekuler” berikut perlengkapan-perlengkapan ilmiahnya seperti; penyelidikan, pengenalan, difinisi masalah, analisa dan diikuti dengan problem-solving-nya, didepak dari struktur intelektual Muslim. Kondisi tersebut masih diperparah dengan tradisi role-learning yang mengakar kuat di kalangan intelektual Muslim, yang ternyata mandul dalam menghasilkan output yang mempunyai “kualifikasi substansial”, dan lebih mempunyai kecenderungan berorientasi pada sertifikat/ijazah.

Upaya lain yang tidakkalah penting untuk mendapat penanganan serius yaitu pembrnahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Problem yang menyelimuti dunia pendidikan Islam yaitu kesenjangan di antara jenjang pendidikan. Higher Education biasanya berdirisebagai menara gading. Baik infra maupun supra struktur bagi Pendidikan Tinggi sering kali tidak memadai.[28] Pendidikan di tingkat dasar dan menengah kurang atau tidak bisa menyediakan calon-calon mahasiswa yang memenuhi standar kualifikasi yang diharapkan, untuk menempuh studi di perguruan tinggi. Dan kasus lainnya, bagi para mahasiswa baik dari negeri Muslim atau berkembang lainnya yang menamatkan pendidikan di luar negeri, seringkali tidak sanggup diakomodir sekembali ke tanah airnya. Supra struktur, dalam hal ini lapangan pekerjaan maupun untuk pengembangan keilmuan yang telah mereka dapatkan seringkali menemui kesulitan, mereka mengalami stock culture atau bahkan alienisasi. Inilah pekerjaan rumah bagi pendidikan Islam untuk membenahi kelembagaannya, dengan satu pendekatan bahwa pwmbwnahan itu tidak bisa di lakukan secara sepenggal-sepenggal.

Prospek

Kaum muslimin merupakan komunitas terbesar kedua yang ada di bumi ini. Tentu merupakan sebuah potensi yang sangat besar bila hal ini bisa digarap dengan baik, dari segi kualitas mauoun kuantitasnya. Lebih dari itu, kalau dilihat, sebagian besar negara Muslim merupakan negara yang mempunyai potensi alam yang sangat kaya. Sehingga dua potensi, yaitu sumber daya insan dan sumberdaya alam, kalau bisa dipadukan secara simultan, maka akan menjadi sebuah kekuatan besar di dunia ini.

Semakin terbukanya cakrawala pemikiran di antara sebagian intelektual Muslim, salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya pelajar/sarjana Muslim yang mencar ilmu di Barat, merupakan angin segar bagi upaya menemukan kejayaan masa kemudian yang hilang.

Satu hal lagi yang perlu disorot yaitu gerakan-gerakan negara Islam menyerupai OKI atau Liga Arab, kalau bisa mengoptimalisasi peran, khususnya pencerahan dalam bidang pendidikan, akan memperlihatkan bantuan dan dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat Islam dunia

E.     Penutup
Sebagai biro perubahan sosial, Pendidikan Islam yang berbeda dalam atmosfer Moderenisasi dan Globalisasi remaja ini dituntut untuk bisa memainkan kiprahnya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan bisa membawa perubahan dan bantuan yang berarti bagi perubahan unmat Islam, baik pada daratan intelektual teoritis maupun praktis. Adalah bukan perilaku yang tetap mebiarkan diri tertidur lelap, menutup mata atau mengisolir diri terhadap hiruk pikuknya perubahan sosial yang tengah berlangsung, dan tidak mau mengambil pecahan daripadanya.

Solusi pokok yang ditawarkan Rahman, sebagaimana telah dikutip dimuka adalah; Pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Dendam usang yang terus dilanggengkan serta penolakan kultur terhadap Barat secara membabi-buta bukanlah perilaku yang arif. Hal tersebut hanya akan menjadi bumerang bagi pengembangan intelektual Islam. Di sinilah “sikap mental” kalangan intelektual Muslim perlu di kaji dan ditata kembali. Sikap ini bisa dikatakan cukup moderat dan cukup acceptable di kalangan Muslim.

Sedang solusi pokok yang dilontarkan oleh Tibi yaitu secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diffrensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.[29] Solusi ini nampaknya hanya akan membuka front yang berhadapan dengan kaum Muslimin pada umumnya. Sekularitas bukanlah pilihan yang realistis ketika ditawarkan dalam Islam,sehingga suadah niscaya banyak tantangan terhadapnya. Meskipun Tibi merupakan seorang intelektual muslim yang handal, akurat dalam memotret problem yang dihadapi dunia pendidikan Islam pada umumnya, tapi untuk solusi lebih banyak diwarnai oleh perilaku keagamaan sehari-harinya, yaitu seorang Muslim yang tidak taat menjalankan agamannya.

Jika bicara dalam konteks Pendidikan Islam di Indonesia, maka berdasarkan ekonomis penulis, problem yang harus dihadapi tidaklah jauh berbeda dengan Arab, meskipun terdapat pula unsur-unsur yang membedakan. Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya, menghadapi problem seperti; lemahnya sumberdaya manusia, angka kemiskinan otoriter akhir topan krisis ekonomi, menggelembungnya kuantitas bawah umur putus sekolah, kualitas lembaga-lembaga pendidikan. Dari aspek tujuan dan falsafah Nasionalisme Arab, sedang Indonesia dengan pancasilanya, terlebih lagi dalam iklim reformasi menyerupai kini ini, relatif lebih terbuka menyerap unsur-unsur luar.

Perubahan sosial merupakan sebuahproses yang menyeluruh dengan melibatkan semua komponen yang ada. Untuk itu pendayagunaan semua komponen dalam hal ini potensi insani dan non-insani yang terlibat di dalamnya (khususnya di sektor pendidikan) harus dimaksimalkan. Peluang dan kesempatan harus disediakan seluas-luasnya kepada semua komponen tersebut. Hal ini tentunya harus diikuti dengan perbaikan Islam di semua lini.

Perbaikan-perbaikan tersebut tak sanggup dipungkiri harus diawali dengan tumbuhnya political will dari para pemain drama kunci, yang selanjutnya ditindaklanjuti pada dataran aksi. Beberapa hal yang perlu direkomendasikan sebagai solusi adalah:

Perlu segera diwujudkannya Masyarakat/Komunitas Pendidikan Islam, yang terdiri para profesional, baik teoritis maupun praktisi Pendidikan Islam, yang secara penuh mempunyai keberpihakan dan kepedulian terhadap nasib dan kemajuan Pendidikan Islam.
Perlu diciptakan iklim aman untuk sanggup melahirkan kembali para intelektual Muslim yang handal, sebagaimana encyclopedic scholars di masa kejayaan Islam dahulu.
Perlu dilakukan obrolan yang intensif dan terbuka dengan barat yang dimaksudkan untuk membandingkan, menimba, dan kalau perlu menyerap unsur-unsur yang sanggup diterapkan bagi kemajuan Islam, khususnya Pendidikan Islam.
Perlu lebih dikembangkan model kajian/pendidikan yang bisa berdialog secara terbuka dengan unsur-unsur luar, serta bisa mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam sistem pendidikannya.


DAFTAR PUSTAKA



Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (New York; Warner Books,1991).

A.L. Tibawi, Islamic Education, Its Traditions and Moderenization in the Arab National Systems,(London: Luzac, 1972).

Bassam Tibi, The Crisis of Modern islam; A preindustrial Culture in the Scientific-technological Age, (Salt Lake City: University of Utah Press, 1988).

—————, Islam and the Cultural Accommodation of social Change,(San Fransisco: Westview Press,1985).

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979).

—————–, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).

Mawar Saridjo, Bunga Rumpai Pendidikan Agama Islam,(Jakarta: Amissco, 1996).

Philip K. Hitti, History of Arabs, From the Earliest Time to the Present, (London: MacMilan, 1970).

Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London:Luzac,1927).

[1] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 71.
[2] Bassam Tibi, The Crisis of Modern islam; A preindustrial Culture in the Scientific-technological Age, (Salt Lake City: University of Utah Press, 1988), hlm. 2.

[3] Ibid, hlm.3.

[4] Fazlur Rahman, Op. Cit., hlm. 43.

[5] Ibid.

[6] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm. 185-6.

[7] Ibid, hlm. 186.

[8]Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, (London:Luzac,1927), hlm. 200.

[9]A.L. Tibawi, Islamic Education, Its Traditions and Moderenization in the Arab National Systems,(London: Luzac, 1972), hlm. 200.

[10]Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (New York; Warner Books,1991), hlm. 391.

[11] Tibawi, Op.Cit., hlm. 205.

[12] Fazlur Rahman,  Islam and Modernity, Op.Cit., hlm.77.

[13] Lihat Qur’an (17:77) yang pada pada dasarnya menyebutkan bahwa segala sesuatu ciptaan Allah di alam semesta ini telah ada aturan atau aturan yang berlaku atasnya, bersifat tetap, niscaya dan takkan berubah.

[14] Tibi, Op.Cit., hlm. .

[15] Tibawi, Op.Cit., hlm. 7.

[16] Bassam Tibi, Islam  and the Cultural Accommodation of social Change, (San Fransisco: Westview Press,1985), hlm. 111.

[17] Sebagaimana dikutip oleh Tibi dalam The Crisis of Modern Islam dari karya Syed Hussein Alatas, Intellectuals in Developing Societies, (London, 1977), hlm. 15.

[18] Sebagaimana dikutip oleh Tibi dalam  Islam…, Loc.Cit.

[19] Tibi, The Crisis, Op.Cit., hlm. 16.

[20] Fazlur Rahman, Islam, Op.Cit, hlm. 110.

[21] Fazlur Rahman, Islam, Op.Cit., hlm. 189.

[22] Bassam Tibi, Islam…, Loc.Cit.

[23] Philip K. Hitti, History of Arabs, From the Earliest Time to the Present, (London: MacMilan, 1970), hlm. 393-4.

[24] Bassam  Tibi, Islam, Loc.Cit.,lihat juga hlm. 112.

[25] Azyumardi Azara, Pembaruan Pendidikan Islam, dalam Mawar Saridjo, Bunga Rumpai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco, 1996, hlm. 2-3.

[26] Fazlur Rahman, Islam and Moderenity, Op.Cit.,hlm. 50-51.

[27] Ibid., hlm. 136-137.

[28] Lihat Tibawi, Op.Cit.,hlm.198-201

[29] Tibi, The Crisis…, Op.Cit.,hlm. 127.

Sumber : http://abdulwahidilyas.wordpress.com/
Advertisement

Iklan Sidebar