Makalah Al-Quran dan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam '' Mata Kuliah Ilmu Tauhid ''
Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Ilmu Tauhid
Smester Ganjil 20XXX
Dosen Pembimbing : ...................................
Oleh Kelompok 4:
1. ............................................................
2. ...........................................................
3. .............................................................
4. ...............................................................
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH /PAI
TAHUN 2012
A. Pendahuluan
Islam ialah agama yang tepat yang sudah tentu mengandung aturan dan aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Dalam memilih aturan atas manusia, Islam mengambil aturan tersebut dari yang membuat insan bukan insan itu sendiri. Ini jauh berbeda dengan aturan yang dibentuk sendiri oleh insan yang sudah tentu tidak terlepas dari banyak sekali kekurangan.
Setiap aturan dan aturan dalam Islam mempunyai sumber sendiri sebagai fatwa dalam pelaksanaannya. Hukum Islam termaktub lengkap dalam al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disebut sebagai sumber aturan Islam. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai sumber aturan Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan dalalah ayat al-Qur’an sebagai sumber aturan Islam?
2. Bagaimana pembagian, kualifikasi dan dalalah, as-Sunnah sebagai sumber aturan Islam?
C. Pembahasan
1. Al-Quran
Ø Pengertian Al-Qur’an
Kata al-Qur’an dari bahasa Arab merupakan masdar dari kata (قرأ) yang secara etimologis ialah bacaan. Al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber aturan dan fatwa hidup bagi pemeluk Islam, kalau dibaca menjadi ibadah kepada Allah.
Dengan keterangan tersebut di atas, maka firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa as dan Isa as serta nabi-nabi yang lain tidak dinamakan al-Qur’an. Demikian juga firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang kalau dibacanya bukan sebagai ibadah menyerupai hadits Qudsi tidak pula dinamakan al-Qur’an.
Dari segi terminology, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.[1]
Para ulama ushul fiqih antara lain mengemukakan bahwa:
a. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak dinamakan al-Qur’an, melainkan Zabur, Taurat, dan Injl. Ketiga kitab yang diturunkan terkhir ini ialah kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. bukti bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah ialah kemukjizatan yang terkandung al-Qur’an itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap al-Qur’an.
b. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an, menyerupai dalam surat asy-Syua,ra: 192-195, yusuf: 2, al-Zumar: 28, an-Nahl:103, dan Ibrahim: 4. Oleh alasannya ialah itu penafsiran dan penerjemahan al-Qur’an tidak dinamakan al-Qur’an, tidak bernilai ibadah bila membacanya menyerupai nilai membaca al-Qur’an dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna yang dikandungnya. Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tapi kebolehan ini hanya bersifat rukhsah (keringanan hukum), Karena ketidakmampuan sebagian orang untuk membaca dan menghafal dan membaca ayat-ayat al-Qur’an, terlebih lagi bagi yang gres masuk Islam.[2]
Ø Dalalah Ayat al-Qur’an
Adapun al-Qur’an itu ditinjau dari dalalah atau aturan yang dikandungnya dibagi dua:
a. Nash yang qoth’I dalalahnya atas hukumnya
Yaitu nashnya memperlihatkan kepada makna yang gampang dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan mendapatkan ta’wil, tidak ada pengertian selain daripada apa yang telah dicantumkam. Misalnya firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 2:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
“Perempuan yang berzina dan laki-lakij yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.”
Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Kaprikornus ayat ini Qoth’I. demikian pula yang memperlihatkan harta pusaka, arti had dalam aturan atau nishab, semuanya sudah dipastikan, sudah dibatasi.[3]
b. Nash yang dzanni dalalahnya
Yaitu yang menunjuk atas yang mungkin dita’wilkan , atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain, menyerupai firman Allah:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'(Al-Baqarah: 228)
Quru’ tersebut didalam bahasa Arab mempunyai arti, yaitu suci dan haid (menstruasi) karena itu ada kemungkinan, yang dimaksut disini tiga kali suci tetapi juga mungkin tiga kali menstruasi..jadi disini tidak niscaya dalalahnya tidak niscaya atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat perihal hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali sici, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Demikian abd. Wahhab Khallaf.[4]
Al-Qur’an sebagai sumber aturan fiqh
Atas dasar bahwa aturan syara’ itu ialah kehendak Allah perihal tingkah laris insan mukallaf, maka sanggup dikatakan bahwa pembuat aturan (law giver) ialah Allah SWT al-Qur’an itu sumber pertama bagi aturan islam, sekaligus juga dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan memperlihatkan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan aturan untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus dilakukan ialah mencari balasan dan penyelesaiannya dalam al-Qur’an.
Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai sumber dan dalil aturan fiqh terkandung dalam ayat al-Qur’an yang menyuruh umat insan mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari 30 kali dalam al-Qur’an. Perintah Allah itu berarti perintah mengikuti apa-apa yang difirmankannya dalam al-Qur’an.[5]
2. As-Sunnah
Ø Pengertian Sunnah
Kata “Sunnah” (سنّة) berasal dari kata سنّ . secara etimologi berarti: cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi
من سنّ سنّة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها ومن سنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
“Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala oaring yang mengerjakanya dan siapa yang membuat Sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”
Dalam al-Quran terdapat kata “sunnah” dalam 16 kawasan yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti’. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali imran (3): 137:[6]
ôs% ôMn=yz `ÏB öNä3Î=ö6s% ×ûsöß (#rçÅ¡sù Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øx. tb%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$#
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kau sunnah-sunnah Allah. karena itu berjalanlah kau di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akhir orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Kemudian dalam surat al-isra’ (17): 77
sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& n=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß ( wur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xÈqøtrB ÇÐÐÈ
“(kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kau dan tidak akan kau dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.”
Sunnah dalam istilah ulama ushul ialah “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengukuhan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqih ialah “sifat hokum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.[7]
Ø Macam-macam Sunnah
a. Sunnah Qauliyah
Sunnah qauliyah ialah ucapan mulut dari Nabi Muhammad SAW yang di dengar dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-Quran. Akan tetapi al-Quran juga lahir dari mulut nabi yang juga didengar oleh sobat dan disiarkannya kepada orang lain sehingga kemudian diketahui orang banyak.
Dengan demikian, berdasarkan lahirnya al-Quran dan Sunnah qauliyah sama-sama muncul dari mulut Nabi. Namun sobat yang mendengarnya dari Nabi sanggup memisah-misahkan mana yang wahyu dan mana yang ucapan biasa dari nabi. Perbedaan tersebut da[at dilihat dengan beberapa cara, antara lain:
1. Bila yang lahir dari mulut Nabi itu ialah wahyu al-Quran selalu mendapatkat perhatian yang khusus dari nabi dan menyuruh orang lain untuk menghafal dan menuliskannya serta mengurutkannya sesuai dengan petunjuk Allah.
2. Penukilan al-Quran selalu dalam bentuk mutawarir atau oleh orang banyak, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
3. Penukilan al-Quran selalu dalam bentuk penukilan lafadz dengan arti sesuai dengan teks aslinya yang didengar dari nabi.
4. Apa yang di ucapkan Nabi dalam bentuk ayat al-Quran mempunyaidaya pesona atau mu’jizat bagipendengarnya. [8]
b. Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi’liyah adalah semua perbuatan dan tingkah laris Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sobat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Para ulama memilah perbuatan Nabi itu menjadi tiga bentuk:
1. Perbuatan dan tingkah laris Nabi dalam kedudukannya sebagai seorang insan biasa atau berupa etika kebiasaan yang berlaku di kawasan beliau, menyerupai cara makan, minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan lain sebagainya yang merupakan watak dari seorang manusia.
2. Perbuatan Nabi yang mempunyai petunjuk yang mebjelaskan bahwa perbuatan tersebut khusus berlaku untuk Nabi dan orang lain dihentikan berbuat menyerupai yang dilakukan Nabi.
3. Perbuatan dan tingkah laris Nabi yang bekerjasama dengan klarifikasi hukum, seperti: shalat, puasa, cara Nabi melaksanakan jual beli, utang piutang dan lain sebagainya yang bekerjasama dengan agama.[9]
c. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah ialah penetapan Nabi atas ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, dengan membisu atau tidak ada penolakan, persetujuan, atau anggapan baik dari beliau. Sehingga penetapan dan persetujuan itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Seperti riwayat: Dua orang sobat pergi melaksanakan perjalanan. Ketika datang waktu shalat, mereka tidak mendapatkan air, maka mereka bertayamum kemudian mengerjakan shalat. Sesaat kemudian merek mendapatkan air, maka salah seorang diantara mereka mengulang shalat, sedang yang lain tidak. Ketika mereka menceritakannya kepada Nabi, dia membenarkan apa yang telah diperbuat oleh keduanya. Belau bersabda kepada yang tidak mengulang shalatnya, ”Engkau telah malaksanakan sunnah shalatmu sudah cukup,” dan bersabda kepada yang mengulang, “Engkau menerima pahala dua kali.”[10]
Ø Kekuatammya Sebagai Hujjah
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran. Dalam kesusukannay sebagai penjelas, sunnah kadang-kadangmemperluas hokum dalam al-Quran atau menetapkan aturan sendiri diluar apa yang di tentukan Allah dalam al-Quran.[11]
Bukti atas kekuatan sunnah sebagai hujjah antara lain:
Pertama, nash-nash al-Quran. Karena Allah SWT sering kali dalam al-Quran memerinyahkan taat kepada Rasul-Nya, menyebabkan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepadanya. Seperti dalam firman Allah SWT:[12]
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian kalau kau berlainan Pendapat perihal sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), kalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS: an-Nisa’: 59)
Kedua, kesepakatan para sobat baik semasa hidup maupun sepeninggal Rasullullah akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup Nabi, para sobat telah malaksanakan hukum, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nabi. Dalam melaksanakan kewajiban mengikuti, mereka tidak memnedakan antara aturan yang berasal dari wahyu Allah berupa al-Quran atau aturan yang keluar dari Nabi sendiri.
Ketiga, Allah dalam al-Quran telah menetapkan banyak sekali kewajiban yang masih bersifat global, aturan dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci. Seperti firman Allah: [13]
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢9$#
“dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!"(QS. An-Nisaa’: 77)
Ø Dilalah Sunnah
Menurut pembagian para ulama Hanafiah, hadits ditinjau dari segi periwayatannya dibagi menjadi Hadits Mutawattir, Hadits Masyhur, dan Hadits Ahad.
Menurut jumhur, Hadits dibagi menjad dua, yaitu Hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits masyhur berdasarkan ulama Hanafiyah termasuk ke dalam bab hadits minggu dalam pembagian hadits minggu dalam pembagian berdasarkan jumhur.
1. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Pada masa sahabat, tabiin, tabiit tabiin, oleh orang banyak yang berdasarkan etika kebiasaan mustahil mereka sepakati untuk berbuat dusta, karena banyaknya jumlah mereka. Contohnya dari sunah amaliyah,seperti melaksanakan sholat, puasa,haji,dll. Dari sunah qauliyah menyerupai hadits:[14]
من كذّب علىّ متعمّدا فليتبوّأْ مقعده من النار
“Barang siapa berdusta kepada-Ku dengan sengaja, maka silahkan menempati tempatnya di neraka.”
Hadits Mutawatir wajib diamalkan karena diriwayatkan dengan cara yang mutawatir, yang menetapkan kebenaran asalnya dari Rasulullah SAW.
2. Hadits Masyhur
Hadits masyhur mustafidz, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Dari para sobat atau sekelompok orang banyak yang tidak hingga pada batas mutawatir, kemudian diriwayatkan pada masa tabiin dan masa tabiit tabiin oleh sejumlah orang yang hingga pada batas mutawatir.
Contohnya ialah menyerupai hadits yang diriwayatkan oleh umar bin khathab dari Rasulullah SAW:
انّما الاعمال بالنّيات
“sesungguhnya segala amal itu (pahalanya)bergantung kepada niatnya.”
Perbedaan antara hadits mutawatir dengan hadits masyhur yaitu bahwa hadits mutawatir diriwayatkan dengan cara mutawatir pada tiga masa, sedangkan hadits masyhur tidak diriwayatkan secara mutawatir, kecuali pada masa tabiin dan tabiit tabiin. [15]
3. Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak hingga pada hitungan mutawatir. Artinya satu, dua, atau beberapa orang rawi meriwayatkan dari Rasul yang kemudian diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang sepadan dan demikian seterusnyabsehingga sampau kepada kita dengan sanad menyerupai itu. Yakni pada setiap tingkatannya ialah perorangan, tidak hingga pada hiungan mutawatir. Yang termasuk sunnah minggu ini ialah sebagian hadis yang dikumpulkan dalam kitab-kitab hadis, dan hadis tersebut di beri nama Khabar al Wahid.[16]
Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang kala memperluas aturan dalam al-Qur’an atau menetapkan sendiri aturan di luar apa yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an.
Jumhur ulama’ beropini bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sehabis al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat islam. Jumhur ulama’ mengemukakan alasan-alasannya dengan beberapa dalil di antaranya:
1.Banyak ayat al-Qur’an yang menyuruh umat untuk mentaati Rosul. Ketaatan kepada Rosul sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah; menyerupai dalam surat al-Nisa’ (4):59:
Yang dimaksud dengan mentaati Rosul dalam ayat tersebut ialah mengikuti apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Rosul sebagaimana tercakup dalam sunnahnya.
2.ayat-ayat al-Qur’an sering menyuruh umat beriman kepada Rosul dan menetapkan beriman kepada Rosul bersama dengan kewajiban beriman kepada Allah, sebagaimana dalam surat al-A’rof(7):158.
3.ayat-ayat al-Qur’an menetapkan bahwa apa yang dikatakan Nabi seluruhnya ialah berdasarkan wahyu, karena dia tidak berkata berdasarkan kehendaknya sendiri;tetapi semua itu ialah berdasarkan wahyu yang ditunjukkan Allah sebagaimana terdapat dalam surat al-Najm (53): 3-4.[17]
Kesimpulan
Al-Qur’an ialah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber aturan dan fatwa hidup bagi pemeluk Islam, kalau dibaca menjadi ibadah kepada Allah. Para ulama ushul fiqih antara lain mengemukakan bahwa:
1.Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. bukti bahwa al-Qur’an ialah kalam Allah ialah kemukjizatan yang terkandung al-Qur’an itu sendiri, dari struktur bahasa, isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, dan ramalan-ramalan masa depan yang diungkap al-Qur’an.
2.Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy. Al-Qur’an merupakan nama dari struktur bahasa dan makna yang dikandungnya.
Sunnah dalam istilah ulama ushul ialah “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengukuhan dan sifat Nabi”. Sunnah ada 3 macam, yaitu:
Sunnah qauliyah ialah ucapan mulut dari Nabi Muhammad SAW yang di dengar dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu al-Quran. Sunnah fi’liyah adalah semua perbuatan dan tingkah laris Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sobat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya.Sunnah Taqririyah ialah penetapan Nabi atas ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, dengan membisu atau tidak ada penolakan, persetujuan, atau anggapan baik dari beliau.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang kala memperluas aturan dalam al-Quran atau menetapkan aturan sendiri diluar apa yang di tentukan Allah dalam al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.PT. Karya Toha Putra. 1978.
Uman, Chaerul. Ushul Fiqih 1. CV. Pustaka Setia. 2000.
Muchtar, Kamal dkk. Ushul Fiqih Jilid 1. PT. Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh Jilid 1. Logos wacana ilmu. Jakarta: 1997.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Pustaka Amani. Jakarta. 2003.
[1] Moh. Rifa’i. Ilmu Fiqih Islam Lengkap.PT. Karya Toha Putra. 1978. Hal 17
[2] Chaerul Uman. Ushul Fiqih 1. CV. Pustaka Setia. 2000. Hal 32-35
[3]Kamal Muchtar, dkk. Ushul Fiqih Jilid 1. PT. Dana Bhakti Wakaf. 1995. Hal.88-89
[8] Ibid. hal 77
[9] Ibid. hal 78-79
[10] Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Pustaka Amani. Jakarta. 2003. Hal 40
[11] Op Cit. Amir Syarifuddin. Hal 95
[12] Op Cit. Abdul Wahhab Khallaf. Hal 41
[13] Ibid. Hal 43
[14] Op Cit. Chaerul Uman, dkk. Hal 67
[15] Ibid. Hal 68-89
[16] Op Cit.Abdul Wahhab Khallaf. Hal 49
Advertisement