'/> Haji Dan Umrah -->

Info Populer 2022

Haji Dan Umrah

Haji Dan Umrah
Haji Dan Umrah
HAJI DAN UMRAH

Materi Tafsir Ahkami 
A.  Pendahuluan
Ibadah dalam agama Islam banyak macamnya. Haji ialah salah satunya, yang merupakan rukun Islam yang ke lima. Ibadah haji gres disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah berdasarkan jumhur ulama, dan diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup. Yang mana haji dan umrah ialah kewajiban bagi setiap orang Isam yang sehat dan bisa baik bisa dalam hal kesehatan juga bisa dalam permasalahan biaya. Demikian pula dengan penempatan haji dan umrah sebagai rukun Islam kelima atau yang paling akhir.
Penempatan haji dan umrah sebagai sebagai rukun Islam kelima, lantaran ibada haji merupakan ibadah yang paling berat , memerlukan biaya yang mahal, waktu yang cukup usang dan kesiapan fisik –material serta mental-spiritual yang harus benar-benar baik. Belum lagi memperhatikan tempat penyelenggaraan  haji dan umrah itu sendiri yang harus dilakukan di tempat-tempat tertentu dan waktu-waktu [i]tertentu pula. Ibadah haji dan umrah merupakan ibadah yang meminta seluruh kesiapan kita baik rohani maupun jasmani.[1]



B.  Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 196-197
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ÷bÎ*sù öNè?÷ŽÅÇômé& $yJsù uŽy£øŠtGó$# z`ÏB Äôolù;$# ( Ÿwur (#qà)Î=øtrB óOä3yrâäâ 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ßôolù;$# ¼ã&©#ÏtxC 4 `uKsù tb%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& ÿ¾ÏmÎ/ ]Œr& `ÏiB ¾ÏmÅù&§ ×ptƒôÏÿsù `ÏiB BQ$uŠÏ¹ ÷rr& >ps%y|¹ ÷rr& 77Ý¡èS 4 !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& `yJsù yì­GyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ n<Î) Ædkptø:$# $yJsù uŽy£øŠtGó$# z`ÏB Äôolù;$# 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3 y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 öN©9 ô`ä3tƒ ¼ã&é#÷dr& ÎŽÅÑ$ym ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÊÒÏÈ kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#yÅ_ Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rts?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨9$# 3uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ
196.  Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah. jikalau kau terkepung (terhalang oleh musuh atau Karena sakit), Maka (sembelihlah) korban[120] yang gampang didapat, dan jangan kau mencukur kepalamu[121], sebelum korban hingga di tempat penyembelihannya. jikalau ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau berzakat atau berkorban. apabila kau Telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang gampang didapat. tetapi jikalau ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kau Telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
197.  (Musim) haji ialah beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang tetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka dihentikan rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kau kerjakan berupa kebaikan, pasti Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal ialah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

v  Mufrudat

الحجُّ             : haji, secara harfiah berarti sengaja atau niat,dalam syari’at ialah berkunjung atau berziarah ke tempat-tempat tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah.

العمرةُ                       : teraambil dari kata al-i’timar yang secara etimologi berarti berziarah.
الحصرُ           : bertahan atau kesulitan atau kesempitan.

الهديُ            : sesuatu yang dihadiahkan oleh pelaku haji atau pelaku umrah di Bait al-Haram berupa binatang ternak.

حاضرِي المسجد الحرامِ   : penduduk makkah dan sekitarnya hingga di beberapa tempat yang dijadikan miqot atau tempat star niat haji dan atau umrah.

الرَّفثَ                 : ucapan yang keji. Ada yang menafsirkan dengan bersetubuh dan ada pula yang menafsirkan dengan pembicaraan kotor, kemudian para mufassir menyimpulkan bahwa rafast ialah setiap ucapan, perilaku dan perbuatan yang menjurus ke arah seksual yang berpuncak pada senggama.

الفُسُوقَ              : gelar yang buruk, atau sanggup ditafsirkan dengan tindakan-tindakan yang keluar dari batas-batas yang ditentukan syara.

الجَدالَ                : bantahan-bantahan, dalam kebiasaan yang umum berlaku, dan sering terjadi antara pihak yang dilayani dan yang melayani di perjalanan, lantaran sempitnya tempat atau waktu dan yang mengakibatkan ketidaksukaan pada hati masing-masing pihak.[2]


v  Asbabul an-Nuzul
     Mengenai alasannya ialah turunnya ayat 196-197 surat al-Baqarah, terdapat banyak sekali riwayat yang satu sama lain berbeda-bada. Diantaranya riwayat yang dimaksudkan ialah:
     Diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin Hatim dari Shafwan bin umayyah, bahwa seorang pria berjubah yang semerbak wangi-wangian Za’faran menghadap kepada Nabi M uhammad SAW. Dan kemudian ia bertanya: “Ya Rasul Allah! Apakah yang harus saya lakukan dalam menunaikan “umrah?” Lalu turunlah Firman Allah: “wa’atimm al-hajj wa al-‘umrata lillahi.” Kemudian Rasulullah SAW. bersabda seraya dia bertanya: “Mana orang yang tadi menanyakan problem ‘umrah itu?” Orang tadi menjawab: Saya ya Rasul Allah.” Selanjutnya Rasul Allah SAW. bersabda: “Tinggalkanlah bajumu, kemudian bersihkan hidung dan mandilah sesuka kamu, dan kemudian kerjakanlah apa yang biasa engkau kerjakan pada waktu mengerjakan haji.” Riwayat di atas paling sedikit oleh sebagian hebat alasannya ialah nuzul, dinyatakan sebagai hadits gharib.[3]
Dalam riwayat lain dikemukakan  ka’ab bin ‘Ujzah berkata. “Aku dibawa ke hadapan Rasulullah saw. Dalam kondisi sakit parah. Kutu-kutu terlihat bertebaran di wajahku. ‘Aku tidak menduga saya akan menghadapi keadaan menyedihkan menyerupai ini. Apa kau punya kambing?’ Tanya Rasulullah saw. ”Tidak”, jawab ka’ab ra. ‘ Puasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin. Setiap orang mendapat satu setengah sha’, kemudian cukurlah rambutmu.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa “Orang-orang Yaman selalu menunaikan ibadah haji dengan tanpa membawa bekal. Mereka berkata, ‘Kami bertawakal kepada Allah. “Akan tetapi, sesampainya mereka di madinah, mereka meminta-minta kepada orang-orang.[4]

C.Pembahasan
·         Hukum melaksanakan haji dan umrah
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassirin mengenai apa yang dimaksud dengan ”itmam al-hajj wal umrah” dalam firman Allah واتمواالحج والعمرة لله   sebagian menyatakan, yakni tunaikan keduanya (haji dan umrah) itu dengan sesempurna mungkin, sesuai dengan manasik dan syarat-syarat keduanya, semata-mata lantaran Allah tanpa ada perhiasan dan pengurangan sekecil apapun. Adapula yang menafsirkan demikian ”sempurnakanlah haji dan umrah itu dengan melaksanakan keduanya masing-masing sendiri-sendiri, tidak digabung atau dipisah. Sementara sebagian yang lain menafsirkan bahwa nafkah (biaya) yang dipakai untuk haji itu harus bersumsber dari rizki yang halal, dan adapula yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan haji dan umrah itu haruslah semata-mata nrimo untuk beribadah, tidak dicampur baurkan atau disusupi tujuan lain yang bersifat laba duniawi semisal dagang.[5]

Ibadah umrah digelari dengan al-Hajj al-asghar (haji kecil), juga mempunyai posisi penting dalam syariat islam, meskipun wacana hukumnya itu sendiri diperselisihkan oleh ulama. Berbeda dengan haji yang aturan wajibnya telah menjadi konsensus (muttafaq ‘alaih) di kalangan kaum muslimin.[6] Dalam aturan umrah masih terdapat perbedaan pendapat:

Ada yang mewajibkan menyerupai para ulama’ fiqih, Ali ibn Abi Thalib, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal.[7]
  Dan ada juga yang menyatakan aturan umrah sebagai sunnah menyerupai Ibn Mas’ud, Jabir ibn ‘Abdillah, Maliki, Hanafi.[8]
.
·         Masalah orang yang melaksanakan haji tamattu’ sementara dia tidak mendapat binatang korban
 (فمن تمتع بالعمرة فما استيسر من الهدي)Jika orang yang melaksanakan haji tamattu’ (mendahulukan umrah) tidak mendapat al-hadyu baik lantaran hewannya sendiri tidak ada atau tidak berkemampuan untuk membelinya.[9] Maka diwajibkan berpuasa tiga hari dikala haji dan tujuh hari sesudah pulang kembali ke kampung halaman.[10]

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: (فصيام ثلاثة ايام في الحج) al-Baqarah : 196.

     Menurut imam Asy-syafi’i ialah tidak sah puasa yang dilakukan sebelum yang bersangkutan melaksanakan ihram haji, yaitu mulai persyariatan ikhram haji hingga hari Nahar dan yang mustahab ialah pada sepuluh hari sebelum hari arafah. Dan dihentikan melakukannya pada hari-hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).[11]

Menurut Abu Hanifah yang dimaksud bulan-bulan haji yaitu antara dua ikhram yaitu ikhram umrah dan ikhram haji. Setelah selesai umrah, ia boleh berpuasa, walaupun sesudah itu dia belum berikhram untuk haji. Namun demikian Abu Hanifah mengakui bahwa yang paling baik puasa tiga hari itu dilakukan pada hari-hari tarwiyah dan arofah serta sehari sebelum kedua hari tersebut, tepatnya tanggal 7, 8, 9 Dzulhijjah.[12]

Sedangkan berdasarkan ulama’ yang lain menyatakan bahwa apabila  sebelum idul ‘adha mereka tidak sempat berpuasa, maka dibenarkan baginya untuk puasa pada hari-hari tasyrik sesuai dengan pendapat ‘Aisyah dan Ibn Umar yang menyampaikan bahwa “tidak ada dispensasi puasa selama hari-hari tasyrik kecuali bagi orang yang tidak mendapat binatang kurban (al-Hadyu).[13]

·         Batasan orang yang tertahan/terhalang (al-muhshar)

فان احصرتم فما استيسر من الهدي) ) Yaitu apabila kau terhalang, baik lantaran sakit atau terkepung musuh dan dan lain sebagainya, padahal kau dalam keadaan ikhram untuk menyempurnakan haji (itmam al-nusuk), dan kau berkehendak untuk melaksanakan tahallul, maka atas kau menyembelih binatang kurbanyang gampang kau dapatkan dari jenis unta, lembu atau kambing; kemudian sesudah itu, barulah kau bercukur (tahallul). Dan penyembelihan al-hadyu itu sanggup dilakukan di tempat dimana dia terkepung dan walaupun pada waktu tahallul.[14]
Dalam ayat ini ada perbedaan pendapat, yaitu:
Menurut para ulama Maliki, Syafi’i, dan Ahmad adanya ihshar terbatas pada halangan yang timbul hanya terjadi lantaran blokade musuh, tidak termasuk sakit.[15]
Menurut Abu Hanifah, pandangan wacana al-ihsar mencakup setiap faktor yang menghalangi atau menghambat para jamaah haji ke Bait Allah, apakah itu lantaran musuh, sakit, takut, atau kerena kehabisan bekal atau tersesat di tengah jalan dan lain sebagainya.[16] Abu Hanifah beranggapan dengan munculnya ayat tersebut, sebagaimana pendapat kebanyakan hebat (bahasa) yang memakai kata al-ihsar dalam arti lantaran sakit atau blokade musuh.[17]

·         Waktu pelaksanaan haji

               الحجُّ اشهرٌ معلوماتٌ )  ) maksudnya untuk menunaikan kewajiban haji itu telah ada bulan-bulan tertentu yang dipermakluman kepada insan yaitu bulan Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Pada kata “ Ma’lumat “ demikian al-Maraghi, tersirat ratifikasi yang memperkuat kebenaran anggapan bangsa Arab selama ini yang memandang bulan-bulan tersebut sebagai bulan-bulan haji.[18]
Kegunaan dari penentuan waktu haji pada bulan-bulan tersebut, mengindikasikan bahwa pelaksanaan rangkaian ibadah haji yang dilakukan di luar bulan-bulan tersebut tidak sah, missalnya mengerjakan haji di bulan Rajab, atau Sya’ban dan lain-lain. Penentuan waktu ibadah semacam ini bahu-membahu tidak hanya terdapat pada pelaksanaan ibadah haji, melainkan juga pada ibadah-ibadah lain menyerupai puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain khususnya shalat.[19]
Dikalangan hebat ilmu terdapat perbedaan pendapat dalam rincian bulan-bulan haji.
     Menurut imam Syafi’i bulan-bulan haji yaitu syawal, dan Dzul Qa’dah, dan Dzul hijjah. Dan tidak fardlu haji kecuali dibulan Syawal, dan Dzul Qa’dah, dan sembilan hari dari bulan Dzul Hijjah. Dan tidak fardlu pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, yaitu dari bulan haji. [20]
Menurut imam Malik dan kawan-kawan, bulan-bulan haji itu ialah Syawal, dan Dzul Qa’dah (seluruhnya) serta sepuluh hari pertama pada bulan Dzul Hijjah. Dari ucapan Ibn Abbas, al-Sudi, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i.[21]

·         Hal-hal yang diharamkan waktu ikhram

      فمن فرض فيهنَّ الحجّ فلا رفث ولا فسوقَ ولا جِدال فِي الحجِّ )) Yakni siapa saja yang telah tetapkan dirinya untuk melaksanakan haji di bulan-bulan tersebut, dengan sengaja niat haji di dalam hati, mengenakan pakaian ihram sebagai perbuatan lahir, serta mengucapkan dan atau mendengarkan talbiyah, maka tidak lagi dibolehkan berbuat rafats, berlaku fusuq dan terlibat jidal. Seperti di uraikan diatas, al-Rafats ialah ucapan, perilaku dan perbuatan yang berbau seksual yang puncaknya ialah jima’. Sepakat ulama bahwasannya melaksanakan persetubuhan sebelum wuquf di Arafah menjadikan hajinya mufsid ( rusak/cacat ).[22]
Larangan lain yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang tengah berihram ialah:
Ø  Pertama: Jima’ dan faktor-faktor jima’ menyerupai mencium, memegang dengan syahwat, berbicara jorok.[23]
Ø  Kedua: Mengerjakan sesuatu yang jelek, dan derbuat maksiat yang mengeluarkan insan dari ketaatannya kepada Allah.[24]
Ø  Ketiga: Berdebat dengan orang lain khususnya dengan sesama jama’ah haji, para pelayan dan pihak-pihak terkait lainnya dan mengarah pada perselisihan.[25]
Dalam hadits riwayat bukhori dari Abu Hurairah, Rasul Allah  berkata: barang siapa yang haji dia tidak melaksanakan rafats, dan tidak melaksanakan fusuq, maka ia akan kembali suci menyerupai pada hari dia dilahirkan ibunya.[26]

C.       Kesimpulan
Dari hasil makalah di atas sanggup kami simpulkan bahwa:
·         Hukum melaksanakan haji dan umrah
واتمواالحج والعمرة لله)) dalam ayat ini ada perbedaan pendapat dari para  mufassirin yaitu: tunaikan keduanya (haji dan umrah) itu dengan sesempurna mungkin, sesuai dengan manasik dan syarat-syarat keduanya, semata-mata lantaran Allah tanpa ada perhiasan dan pengurangan sekecil apapun. Adapula yang menafsirkan demikian ”sempurnakanlah haji dan umrah itu dengan melaksanakan keduanya masing-masing sendiri-sendiri, tidak digabung atau dipisah. Hukum melaksanakannya yaitu ada yang menyampaikan wajib dan ada yang menyampaikan sunnah.

·         Masalah orang yang melaksanakan haji tamattu’ sementara dia tidak mendapat binatang korban
فمن تمتع بالعرة الى الحج فما استيسر من الهدي)) Jika orang yang berhaji tamattu’  tidak mendapat al-Hadyu, maka ia diwajibkan berpuasa tiga hari diwaktu haji dan tujuh hari sesudah pulang kembali ke kampung halaman. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: (فصيام ثلاثة ايام في الحج) al-Baqarah : 196. Menurut imam Asy-syafi’i ialah tidak sah puasa yang dilakukan sebelum yang bersangkutan melaksanakan ihram haji. Sedangkan berdasarkan Abu Hanifah sesudah selesai umrah, ia boleh berpuasa, walaupun sesudah itu dia belum berikhram untuk haji.

·         Batasan orang yang tertahan/terhalang (al-muhshar)
فان احصرتم فما استيسر من الهدي)) Yaitu apabila kau terhalang, baik lantaran sakit atau terkepung musuh dan dan lain sebagainya, padahal kau dalam keadaan ikhram untuk menyempurnakan haji (itmam al-nusuk), dan kau berkehendak untuk melaksanakan tahallul, maka atas kau menyembelih binatang kurbanyang gampang kau dapatkan dari jenis unta, lembu atau kambing; kemudian sesudah itu, barulah kau bercukur (tahallul).

·         Waktu pelaksanaan haji
الحجُّ اشهرٌ معلوماتٌ )) maksudnya untuk menunaikan kewajiban haji itu telah ada bulan-bulan tertentu yang dipermakluman kepada insan yaitu bulan Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Terdapat perbedaan pendapat dalam rincian bulan-bulan haji.
     Menurut imam Syafi’i bulan-bulan haji yaitu syawal, dan Dzul Qa’dah, dan Dzul hijjah. Dan tidak fardlu haji kecuali dibulan Syawal, dan Dzul Qa’dah, dan sembilan hari dari bulan Dzul Hijjah. Dan tidak fardlu pada tanggal sepuluh Dzul Hijjah, yaitu dari bulan haji. Sedangkan berdasarkan imam Malik dan kawan-kawan, bulan-bulan haji itu ialah Syawal, dan Dzul Qa’dah (seluruhnya) serta sepuluh hari pertama pada bulan Dzul Hijjah. Dari ucapan Ibn Abbas, al-Sudi, al-Sya’bi, dan al-Nakha’i.

·         Hal-hal yang diharamkan waktu ikhram
فمن فرض فيهنَّ الحجّ فلا رفث ولا فسوقَ ولا جِدال فِي الحجِّ )) Yakni siapa saja yang telah tetapkan dirinya untuk melaksanakan haji di bulan-bulan tersebut, dengan sengaja niat haji di dalam hati, mengenakan pakaian ihram sebagai perbuatan lahir, serta mengucapkan dan atau mendengarkan talbiyah, maka tidak lagi dibolehkan berbuat rafats, berlaku fusuq dan terlibat jidal.
 Hal-hal yang diharamkan dikala ikhram yaitu: Jima’ dan faktor-faktor jima’ menyerupai mencium, memegang dengan syahwat, berbicara jorok, Mengerjakan sesuatu yang jelek, dan derbuat maksiat. Berdebat dengan orang lain khususnya dengan sesama jama’ah haji, para pelayan dan pihak-pihak terkait lainnya dan mengarah pada perselisihan.



DAFTAR PUSTAKA

Suma, Muhammad Amin. Tafsir Ahkam 1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1997.
Hatta, ahmad. Tafsir Qur’an Maghfiroh. Pustaka. Jakarta. 2009.

Kitab
محمد على الصابونى. تفسير ايات الاحكام من القران. دار الكتاب. الجز الاول.
ابي عبد الله محمد بن ادريس.تفسير احكام القران. دار الفكر. الجز الاول.



[1] Moh Amin Suma. Tafsir Ahkam 1. PT. Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1997. Hal 99
[2]  Ibid. Hal 101-104
[3] Ibid. Hal 105.
[4] Ahmad Hatta. Tafsir Qur’an Maghfiroh. Jakarta: Pustaka. 2009. Hal. 30-31
[5] Moh Amin Suma. Op. Cit. Hal 107.
[6] Ibid. Hal 108.
[7] ,وابن عمر , واب عباس.  اختلف الفقهاء في حكم العمرة, فذهب الشفعية والحنا بلة الى انها وابة كالحج, وهو مروي عن علي
[8] وذهب المالكية والحنفية الى انها سنه, وهو مروي عن ,ابن سعود, جابر بن عبد الله.
[9]Muhammad Ali Asshobuni. Tafsir ahkam. Darul kitab al-islamiyah. juz awal. Hal 177.
 على وجوب دم الهدي على المتمتع, فاذا لم يجد الدم- اما لعدم المال, او لعدم الحيوان
[10] صام ثلا ثة ايام في الحج, وسبعة ايام اذا رجع الى اهله.
[11] ) وهي من عند شروعه فى الحرام الى يوم ا قال الشفعي : لا يصح صومه الا بعد الا حرام في الحج لقوله تعالى : (فىى الحج
[12] فقال ابو حنيفه : المراد في اشهر الحج وهو ما بين الاحرامين (احرم العمره ) و (احرم الحج) فاذا انتهي من عمرته حل له الصيا م وان لم يحرم بعد بالحج, والافضل ان يصوم يوم التروية, ويوم عرفه, ويوما قبلها يعني ,السابع, والثامن, والتاسع, من ذي الحجة.
[13] ويرى بعض العلماء ان من لم يصم هذه الايام قبل العيد , فله ان يصومها في ايام التشريق , لقول عائشه وابن عمر رضي الله عنهما لم يرخص في ايام تشريق ان يصمن الا لمن لا يجد الهدي.
[14] Moh Amin Suma. Op. Cit. Hal 109.
[15] وحجة الجمهر: وهو يدل على انه حصر العدو لا حصر المرض.
[16] Ibid. Hal 175.وذهب ابو حنيفه :الى ان الاحصار يكون من كل حابس يحبس الحاج عن البيت, من عدو, او مرض, اوخوف,اوذهاب نفقة, اوضلال راحلة, او موت محرم الزوجة في الطريق, وغير ذلك من العذار المانعة.
[17] وحجته: ظاهر الاية, فان الحصار-كما يقول اهل الغة – يكون بالمريض, واما الحصر المنع والحبس, فيقون بالعدو, فلما قال تعالي: ولم يقل دل على انه اراد مايعم المرض والعدو.
[18] Moh Amin Suma. Op.Cit. hal 116.
[19] Ibid. hal 117.
[20]Abi Abdullah Muhammad bin Idris. Ahkam al-Qur’an. Juz awal. Darul fikr. Hal 88.قال: اشهر الحج : شوال, وذو القعدة, وذو الحجه. ولا يفرض الحج الا فى شوال كله, وذي القعده كله ,وتسع من ذي الحجه .ولا يفرض : اذا خلت عشر ذي الحجه, فهو :من شهور الحج, والحج بعضه دون بعض.
[21] وذهب الجمهر مالك, والشافعي, واحمد : الى ان اشهر الحج (شوال, وذو القعده , وعشر من ذي الحجه ) وهو قول ابن عباس , والسدي, والشعبي, والنخعي.
[22] Moh  Amin Suma. Op. Cit. Hal 117-118.
[23] Ibid. Hal 180.
اولا: الجماع ودواعيه, كالتقيل, واللمس بشهوة, والافحاش بالكلام والحديث مع المراة الذي يتعلق بلوطء او مقدماه.
[24] Ibid. Hal 180.
ثانيا: اكتساب السيئات, واقتراف المعاصيو التي تخرج الانسان عن طاعة الله عز وجلز
[25] Ibid. Hal 180.
 ثالثا: المخاصمة والمجادلة مع الفقاء والخدم وغيرهم.
[26] Ibid. Hal 180.روىالبخاري في صحيحه عن ابي هريرة رضي الله عنه ان النبي ص.م. قال: من حج فلم يرفث, ولم يفسق, رجع من ذنوبه كيوم ولدته امه. 




Advertisement

Iklan Sidebar