'/> Biografi Ra Kartini Tertidak Ada Yang Kurang - Tokoh Pendekar Emansipasi Wanita -->

Info Populer 2022

Biografi Ra Kartini Tertidak Ada Yang Kurang - Tokoh Pendekar Emansipasi Wanita

Biografi Ra Kartini Tertidak Ada Yang Kurang - Tokoh Pendekar Emansipasi Wanita
Biografi Ra Kartini Tertidak Ada Yang Kurang - Tokoh Pendekar Emansipasi Wanita
 menyerupai kita ketahui dia ialah pendekar Nasional perempuan yang mempunyai semangat tangguh u Biografi RA Kartini Tertidak ada yang kurang - Tokoh Pahlawan Emansipasi Wanita
RA Kartini BUKAN Syahrini 

Contoh Biografi RA Kartini Terkomplit - RA Kartini, menyerupai kita ketahui dia ialah pendekar Nasional perempuan yang mempunyai semangat tangguh untuk memperjuangkan nasib perempuan pada zamannya untuk sanggup disetarakan dengan kaum pria. Hasil kerja keras dari RA kartini sangatlah terasa bahkan hingga ketika ini, oleh lantaran itu kerja keras ia tetap diingat dan dirayakan pada tanggal 21 april sebagai peringatan Hari Kartini. Mari ludang kecepeh komplitnya kita simak biografi ia diberikut ini.

Profil RA Kartini

Nama             : Raden Adjeng Kartini 
Tempat Lahir  : Jepara, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 21 April 1879
Wafat             : Kabupaten Rembang, 17 September 1904
Pasangan        : K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Anak              : Soesalit Djojoadhiningrat
Agama           : Islam
Sebab Dikenal : Emansipasi Wanita

Biografi RA Kartini

RA Kartini ialah tokoh perempuan yang sangat dikenal di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pendekar nasional lantaran memperjuangkan nasib perempuan pada kala itu. Beliau lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara, Hari kelahirannya kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk mengingat dan mengenang jasanya yang besar untuk bangsa Indonesia. Kartini lahir di tengah keluarga aristokrat yang terpandang oleh lantaran itu ia memperoleh gelar Raden Ajeng atau disingkat R.A  di depan namanya, gelar tersebut dipakai Kartini sebelum ia berkeluarga, kadab ia telah berkeluarga maka gelar keningratan tersebut berkembang menjadi (Raden Ayu) berdasarkan tradisi Jawa.

Ayah RA Kartini berjulukan R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, ia ialah aristokrat yang menjabat sebagai Bupati Jepara, ia ialah kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat ialah orang yang sangat dipandang alasannya ialah jabatannya kala itu sebagai Bupati Jepara ketika Kartini dilahirkan. RA Kartini memilii ibu yang berjulukan M.A. Ngasirah, ia ialah anak seorang kiai atau guru agama Islam di Teluk Awur, Kota Jepara. Menurut catatan sejarah, RA Kartini ialah keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan beberapa sumber menyampaikan bahwa ayah ia merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Meskipun ayahnya ialah aristokrat tetapi Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah bukanlah keturunan ningrat, melainkan hanya rakyat biasa, oleh alasannya ialah itu peraturan kolonial Belanda kala itu mengharuskan seorang Bupati atau pejabat harus berkeluarga dengan aristokrat juga, hingga pada karenanya ayah Kartini kemudian berkeluarga lagi dengan seorang perempuan berjulukan Raden Adjeng Woerjan, ia ialah seorang aristokrat keturunan dari Raja Madura kala itu.

Raden Ajeng Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan saudara tiri. Dari saudara sekandung, ia ialah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati pada usia 25 tahun dan dikenal masyarakat luas pada pertengahan era ke-19 sebagai pemimpin tempat pertama yang memdiberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono merupakan orang yang berilmu dalam banyak sekali bidang bahasa. Sampai pada usia 12 tahun, Kartini diizinkan untuk bersekolah di Europese Lagere School atau ELS. Di sekolah ini Kartini mempelajari bahasa Belanda. Tetapi sehabis menginjak usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah lantaran sudah sanggup dipingit. Raden Ajeng Kartini bersekolah hanya hingga kursi sekolah dasar saja. Beliau sangat berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya, akan tetapi tidak diperbolehkan oleh kedua orangtuanya. Sebagai seorang gadis, Kartini harus menjalani masa pingitan hingga datang waktunya untuk berkeluarga. Ini ialah adat yang mau tidak mau harus dijalankan pada waktu itu dan Kartini hanya sanggup memendam keinginnannya untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah yang ludang kecepeh tinggi.

RA Kartini ia sangat gemar membaca melalui buku, koran, hingga dengan majalah-majalah Eropa pada waktu itu. Kartini mempunyai ketertarikan pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Kartini banyak membaca dari surat kabar Semarang De Locomotief milik Pieter Brooshooft, ia juga mendapatkan leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Seperti majalah kebudayaan serta ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie. Dari ketiruana buku yang dibaca Kartini sebelum menginjak usia 20 tahun terdapatsalah satu buku yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 ia sudah dua kali membacanya. Lalu buku De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian buku-buku karya Van Eeden yang berkelas tinggi, karya Augusta de Witt yang biasa-biasa saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder(Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Melalui buku-buku yang ia baca itulah pikirannya menjadi terbuka lebar, apalagi sehabis membandingkan keadaan perempuan di Eropa dengan perempuan Indonesia kala itu. Sejak ketika itu cita-cita ia untuk memajukan kaum perempuan pribumi yang pada ketika itu mempunyai status sosial yang rendah. Ia sangat ingin memajukan aliran perempuan Indonesia melalui pendidikan. Oleh lantaran itu, ia mendirikan sekolah yang diperuntukan untuk gadis-gadis di Jepara. Pada awal pendiriannya pun anak didik-anak didiknya hanya berjumlah 9 orang yang terdiri dari kerabat-kerabatnya sendiri.

Pada ketika itu pula ia banyak menulis surat untuk rekan-rekannya yang orang Belanda. Salah seorang temannya ialah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya untuk memperjuangkan hak wanita. Dalam suratnya itu ia mengutarakan keinginannya untuk menuntut persamaan hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan wanita. Kartini pun kemudian sempat beberapa kali mengirim tulisannya dan pada karenanya dimuat oleh De Hollandsche Lelie, salahsatu majalah terbitan Belanda yang selalu dibacanya. Melalui surat-suratnya itulah, tampak Kartini membaca apa pun dengan penuh perhatian, dan sembari membuat catatan dari bacannya. Terkadang Kartini menyebutkan salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat dari apa yang ia baca. Perhatiannya pun tidak semata-mata soal emansipasi perempuan saja, akan tetapi juga pada problem sosial umum. Kartini melihat usaha pada kaum perempuan yang ingin memperoleh kebebasan, otonomi serta persamaan aturan sebagai penggalan dari gerakan yang ludang kecepeh luas.

Beliau sempat menerima beasiswa pendidikan dari Pemerintah Belanda pada ketika itu lantaran tulisan-tulisan hebatnya, akan tetapi sang ayah pada waktu itu menetapkan Kartini harus berkeluarga dengan R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat, ia ialah Bupati Rembang yang sudah pernah mempunyai tiga istri. Kartini berkeluarga pada tanggal 12 November 1903. Sejak ketika itu, ia harus pindah dari Jepara ke Rembang untuk mengikuti sang suami. Suaminya sangat mengerti ihwal cita-cita Kartini dan ia pun memdiberikan kebebasan dan mendukung untuk mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang komplek kantor Kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang ketika ini dipakai sebagai Gedung Pramuka.

Kartini mempunyai seorang anak laki-laki yang didiberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, yang lahir pada 13 September 1904. Namun beberapa hari sehabis melahirkan, Kartini meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904. Kartini meninggal pada usia 25 tahun dan ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang.

Untuk menghormati serta mengenang kegigihan dari usaha beliau, maka didirikanlah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Kota Semarang tahun 1912, kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan di tempat lainnya. Sekolah tersebut dinamakan "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini sendiri didirikan oleh keluarga Van Deventer yakni tokoh Politik Etis pada kala itu. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan tiruana surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon sendiri pada ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku tersebut ia diberi judul Door Duisternis tot Licht yang secara harfiah berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan dari surat-surat Kartini tersebut terbit pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan yang terakhir terdapat aksesori surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayu dengan judul yang telah diterjemahkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang": Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara kartini. Kemudian pada tahun 1938, keluarlah buku Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, ia ialah sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima penggalan pembahasan hal itu bertujuan untuk menyampaikan perubahan cara berpikir RA Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi buku ini dicetak sebanyak 11 kali. Surat-surat RA Kartini yang berbahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu juga, surat-surat Kartini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dan Jawa. Melalui surat-surat Kartini yang terbitlah yang hanya seorang perempuan pribumi, begitu menarik perhatian masyarakat Belanda, dan melalui pemikiran-pemikiran Kartini bertahap mulai mengubah cara pandang masyarakat Belanda terhadap kaum perempuan pribumi di Jawa. Pemikirannya yang tertuang dalam surat-surat yang ia tulis juga menjadi ide banyak tokoh-tokoh kebangkitan nasional, diantaranya ialah W.R. Soepratman yang membuat bertema pendekar yang berjudul "Ibu Kita Kartini".

Namun amat disayangkan kadab perdebatan banyak bermunculan lantaran ketetapan Ir. Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal 21 April yang juga hari kelahiran Kartini untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang ludang kecepeh dikenal sebagai Hari Kartini. Bahkan lagu "Ibu Kita Kartini" yang diciptakan oleh W.R Supratman menjadi salah satu lagu nasional. Hal ini mendapatkan banyak sekali protes dari beberapa kalangan. Pengistimewaan Kartini terkesan tersebut seakan pilih kasih dari Pahlawan perempuan Indonesia lainnya menyerupai Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rohana Kudus, yang beberapa diantaranya berdasarkan beberapa sumber telah ikut berperang eksklusif dengan penjajah Belanda, dibandingkan Kartini yang hanya menulis melalui surat-suratnya itu. 

Surat-surat RA Kartini yang hanya seorang perempuan pribumi sangat menarik perhatian dari masyarakat Belanda dari banyak sekali kalangan, dan pemikirannya mulai bertahap mengubah gaya pandang masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa, sehingga menjadikan banyak simpati dari rakyat Belanda dan dari situ banyak penentangan ihwal kudang kecepejakan-kudang kecepejakan DPR Belanda yg merugikan kaum pribumi Jawa. Pada ketika itu RA Kartini telah berpikir ihwal pendidikan kaum perempuan pada masyarakat Jawa yang ketika itu hanya terpaku dengan segala adat istiadatnya yang kaku, seperti perempuan pada kala itu tidak memerlukan pendidikan, mengerti bahasa Belanda saja dirasa sudah cukup, kemudian tinggal menunggu laki-laki yang ingin berkeluargainya dan kemudian dimadu. Kartini telah memikirkan tiruana hal ini pada awal tahun 1900-an.

Inilah beberapa kata-kata RA Kartini yang menginspirasi:

“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa saya melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata "Aku tiada dapat!" melenyapkan rasa berani. Kalimat "Aku mau!" membuat kita praktis mendaki puncak gunung."  (RA Kartini).
“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus jelas cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan insan serupa alam." (RA Kartini). 
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya." (RA Kartini).
“Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu"  (RA Kartini).
“Dan biarpun saya tiada beruntung hingga ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, lantaran jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri. - R. A. Kartini”

Itu tadi sobat telah kita simak ulasan ihwal Biografi RA Kartini terkomplit. Semoga artikel ini sanggup membantu dan mempunyai kegunaan untuk sobat tiruana. Sampai jumpa dan terimakasih.
Advertisement

Iklan Sidebar