MASA’IL FIQHIYAH DALAM KONTEKS EKONOMI DAN DASAR HUKUMNYA
(ASURANSI)
Disusun guna memenuhi kiprah
Mata Kuliah: Masa’il Fiqhiyah
Dosen Pengampu: ..............
Disusun oleh Kelompok 8
1........................................
2.........................................
3...........................................
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
20xxx
MASA’IL FIQHIYAH DALAM KONTEKS EKONOMI DAN DASAR HUKUMNYA
(ASURANSI)
A. Pendahuluan
Mengikuti perjalanan kehidupan insan berarti mengikuti perkembangan banyak sekali masalah yang muncul disekitar mereka, masalah yang ada akan selalu berganti dan bervariasi sejalan dengan pergantian jaman dan waktu. Dengan adanya perjalanan waktu dan jaman akan melahirkan masalah gres dari yang ringan hingga yang rumit. Bagi kaum muslimin menghadapi banyak sekali masalah yang menyelimuti mereka merupakan sebuah keniscayaan sebagai konsekuensi logis perubahan jaman dan pergantian generasi.
Persoalan yang muncul membutuhkan balasan dalam lingkup al-Qur’an, as-Sunnah atau bahkan diambil dari pendapat para fuqoh salaf yang membidangi ilmu fiqih.
Persoalan tersebut muncul dalam banyak sekali konteks, salah satunya konteks ekonomi. Dengan begitu berkembangnya perekonomian di indonesia dan dunia, sehingga semua orang selalu behubungan dengan aktifitas ekonomi menyerupai asuransi, jual beli dan lain lain. Maka tidak sanggup di hindari bahwa kini banyak dari orang islam menjadi pelaku ekonomi. Dengan demikian maka timbulah pertanyaan dari masyarakat Islam, menyerupai misal wacana asuransi.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimanakah yang dimaksud dengan asuransi?
- Bagaimanakah aturan asuransi berdasarkan syari’at islam?
C. Pembahasan
a. Asuransi
1) Pengertian Asuransi
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terkenal dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan hening dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, lantaran ada pihak yang memperlihatkan jaminan atau pertanggungan. Hal ini sama dengan seseorang yang sedang kuliah atau sekolah yang keperluan sehari-harinya ada yang menjamin dalam pelaksanaan kuliah ia akan merasa hening dan tidak perlu kuatir. Berbeda dengan seseorang yang menjalani kuliah tanpa adanya jaminan dari orang bau tanah atau orang lain, kuliah sambil kerja, orang tersebut menjalani kuliah tidak hening dan ada perasaan kuatir, lantaran harus mencari biaya sendiri selama kuliah.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) ialah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memperlihatkan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran kalau terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”[1]
Menurut Dr.H. Hamzah Ya’cub dalam buku Kode Etik Dagang Menurut Islam, menyebut bahwa asuransi berasal dan dari kata dalam bahasa Inggris insurance atau assurance yang berarti jaminan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa asuransi adalah: “Suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memperlihatkan penggantian kepadanya lantaran suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan laba yang dihaerapkan, yang mungkin akan dideritanya kerena suatu insiden yang tak tertentu”.[2]
Menurut pasal 1 undang-undang no. 2 tahun 1992 wacana perjuangan perasuransian, asuransi atau pertanggungan ialah “perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan mendapatkan premi asuransi, untuk memperlihatkan penggantian kepada tertanggung lantaran kerugian, kerusakan atau kehilangan laba yang diharapkan, atau tanggung jawab aturan pada pihak ketiga yang mungkin ada diderita tertanggung, yang timbul dari suatu insiden yang tidak pasti, atau untuk memperlihatkan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan asuransi syari’ah dalam Fatwa DSN MUI ialah “usaha saling melindungi dan gotong royong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memperlihatkan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui kesepakatan yang sesuai dengan syari’ah”.[4]
Asuransi syari’ah mempunyai ciri, yakni kesepakatan asuransi syari’ah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima kalau terjadi peristiwa, atau akan diambil kalau kesepakatan berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Apabila ada kelebihan disebut mudharabah bukan riba.[5]
2) Prinsip Operasionalisasi Asuransi Syari’ah
Sembilan prinsip yang menjadi karakteristik operasional ansuransi syari’ah, yakni :
1. Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid ialah dasar utama dari setiap bentuk tabungan yang ada dalam syari’ah islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan insan harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan ialah bagaimana seharusnya membuat suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan paling tidak dalam setiap melaksanakan acara berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita.[6]
2. Keadilan (Justice)
Prinsip kedua dalam berasuranasi ialah terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terkait dengan kesepakatan asuransi. Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban anatara penerima asuransi dan perusahaan asuransi.
Di sisi lain laba yang dihasilkan oleh perusahaan dari hasil investasi dana nasabah harus dibagai sesuai dengan kesepakatan yang disepakati semenjak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian laba juga harus mengacu pada laba tersebut.
3. Tolong Menolong (Ta’awun)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan asuransi ialah harus didasari dengan semangat gotong royong (ta’awun) antar anggota. Seseorang yang masuk asuransi, semenjak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu saat mendapatkan tragedi alam atau kerugian.
Praktik tolong menolong dalam asuransi ialah unsur utama pembentuk bisnis asuransi syari’ah. Tanpa adanya unsur ini atau semata-mata untuk mengejar bisnis berarti perusahaan asuransi itu sudah kehilangan huruf utamanya, dan seharusnya sudah wajib terkena penalti untuk dibekukan operasionalnyasebagai perusahaan asuransi.[7]
4. Kerja sama (Cooperation)
Prinsip kolaborasi merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi islami. Kerja sama dalam bisnis asuransi sanggup berwujud dalam bentuk kesepakatan yang dijadikan teladan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu antara penerima asuransi dan perusahan asuransi. Dalam operasionalnya, kesepakatan yang digunakan dalam bisnis asuransi sanggup menggunakan konsep mudharabah atau musyarakah. Konsep mudharabah dan musyarakah adalah dua buah konsep dasar dalam kajian ekonomika dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan.
5. Amanah (Trustworthy/al-Amanah)
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan sanggup terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public. Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri penerima asuransi. Seseorang yang menjadi penerima asuransi berkewajiban memberikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya.
6. Kerelaan (al-Ridha)
Dalam bisnis asuransi, kerelaan (al-ridha) sanggup diterapkan pada setiap penerima asuransi semoga mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahan asuransi, yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial (tabarru’) memang betul-betul digunakan untuk tujuan membantu anggota asuransi yang lain kalau mengalami tragedi kerugian.
7. Larangan Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah “tambahan”. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis, riba berarti pengambilan pemanis dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menjelaskan bahwa riba ialah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.[8]
8. Larangan Judi (Maisir)
Kata maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah ialah memperoleh sesuatu dengan sangat gampang tanpa kerja keras atau menerima laba tanpa bekerja. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan insiden atau tindakan tertentu.
Dalam industri asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan adanya gharar sistem dan prosedur pembayaran klaim.[9] Mohd Fadli Yusof, menjelaskan bahwa unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi lantaran di dalamnya trerdapat faktor gharar. Ia mengatakan, “adanya unsur al-maisir “perjudian” akhir adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuraxnsi jiwa. Apabila seorang pemegang asuransi meninggal dunia, sebelum tamat periode polis asuransi, namun telah telah membayar sebagian preminya, maka tertanggung akan mendapatkan sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai al-maisir “perjudian” dalam asuransi konvensional”
9. Larangan Gharar
Gharar dalam pengertian bahasa ialah al-khida’ yaitu suatu tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Wahbah al-Zuhaili memperlihatkan pengertian wacana gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang sepertinya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Oleh lantaran itu dikatakan: al-dunya mata’ul ghuruur artinya dunia itu ialah kesenangan yang menipu.[10]
b. Hukum Asuransi Menurut Syari’at Islam
Dalam urusan mu’amalah terdapat kaedah;[11]
الأصل في المعاملة الإباحة إلاّ ما يمنعه الشريع
Artinya; “hukum asal dalam mu’amalah ialah diperbolehkan, kecuali mu’amalah yang dicegah/dilarang oleh syari’at”.
Mu’amalat yang dicegah oleh syari’at ialah mu’amalat yang di dalamnya terdapat 7 unsur atau pantangan dalam mu’amalat, yaitu:[12] Pertama, maysir, yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sector riil dan tidak produktif. Kedua, asusila yaitu praktik perjuangan yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, gharar yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak terang sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak. Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek perjuangan yang diharamkan syari’ah. Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan pemanis (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong perjuangan yang berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan kenormalan (sunnatullah) bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pen-dzalim-an oleh pihak yang mempunyai posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan perjuangan yang membayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahat dalam Maqashid Syari’ah.
Firman Allah SWT Surat Al-Maidah ayat 3;
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºs î,ó¡Ïù 3 tPöquø9$# }§Í³t tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. `ÏB öNä3ÏZÏ xsù öNèdöqt±ørB Èböqt±÷z$#ur 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# Îû >p|ÁuKøxC uöxî 7#ÏR$yftGãB 5OøO\b} ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÈ
Artinya; “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kau menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) ialah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah frustasi untuk (mengalahkan) agamamu, alasannya itu janganlah kau takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kau agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Kaprikornus agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa lantaran kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Surat al Baqarah ayat 278-279;
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya; 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) kalau kau orang-orang yang beriman. 279. Maka kalau kau tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan kalau kau bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kau tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Surat al-Maidah ayat 90;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], ialah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu semoga kau menerima keberuntungan.
Surat al-Baqoroh ayat 188;
wur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)Ìsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
Artinya; dan janganlah sebahagian kau memakan harta sebahagian yang lain di antara kau dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kau membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kau sanggup memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kau mengetahui.
Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya yang halal telah terang dan yang haram telah terang serta diantara keduanya terdapat yang samar (musytabihat). Sebagian besar insan tidak sanggup mengenalinya, maka siapa saja yang menjaga diri dari yang musytabihat itu berarti ia telah menjaga agama dan dirinya. Dan siapa saja yang terjatuh ke dalam musytabihat itu maka ia telah terjerumus kepada yang haram, sebagaimana seseorang yang menggembalakan ternaknya di sekeliling batas untuk menjaga diri dari melintasi batas itu. Ketahuilah bahwa bergotong-royong setiap raja mempunyai batasan-batasan, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa pada badan terdapat segumpal daging yang kalau ia baik maka oke seluruh badan itu, dan kalau ia rusak maka rusaklah badan itu. Ketahuilah bahwa ia ialah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hal aturan asuransi berdasarkan syari’at islam, ada 4 golongan ulama’ yang berpendapat, yaitu:[14] Pertama, golongan ulama’ yang membolehkan secara mutlak melaksanakan asuransi. Jadi, asuransi hukumnya mubah. Ulama’-ulama’ yang termasuk dalam golongan tersebut ialah Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Muhammad Al-Bahy, Muhammad Yusuf Musa, Abd Al-Wahab Khalaf, Abd Al-Rahman Isa, dan Muhammad Nezzatullah Shiddiqi. Kedua, golongan ulama’ yang beropini sebaliknya, yaitu tidak memperbolehkan secara mutlak melaksanakan suransi. Jadi, asuransi hukumnya haram. Ulama’-ulama’ yang termasuk dalam golongan tersebtu ialah Isa Abduh, Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Bakhit Ala-Mu’thi dan Yusuf Al-Qardhawi. Ketiga, golongan ulama’ yang men-tafshil aturan asuransi tergantung jenis asuransinya. Sehingga ada asuransi yang dipandang haram dan ada pula yang dipandang mubah. Diantara ulama’ yang beropini demikian ialah Abdullah ibn Zaid Ali Mahmud dan Muhammad Abu Zahrah. Beberapa jenis asuransi syari’ah tersebut;[15]
a) Asuransi jiwa, perjanjian wacana pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang bekerjasama dengan hidup atau matinya seseorang. Asuransi ini bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan seseorang itu meninggal. Serta untuk memenuhi keperluan keluarganya yang ditinggalkan.
b) Asuransi kerugian, asuransi ini diberikan kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya. Kerugian ini sanggup terjadi contohnya ada tragedi atau kehilangan laba yang dibutuhkan oleh tertanggung.
c) Asuransi beasiswa, asuransi ini mempunyai dua bentuk. Yang pertama jangka pertanggungan 5-20 tahun diubahsuaikan dengan usia dan rencana sekolah anak. Yang kedua, kalau orangtua tertanggung meninggal dunis sebelum masa kontraknya habis, pertanggungjawaban menjadi bebas premi.
d) Asuransi dwiguna, asuransi ini sanggup diambil dalam jangka 10, 15, 25, hingga 30 tahun. Asuransi ini mempunyai dua manfaat, yaitu pemberian bagi keluarga menyerupai halnya asuransi jiwa. Dan yang kedua tabungan bagi tertanggung, kalau tertanggung tetap hidup pada tamat jangka pertanggungan.
e) Asuransi sosial, asuransi ini memperlihatkan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah. Misalkan kecelakaan kemudian lintas, asuransi ASTEK, asuransi ASKES, dan lainnya.
Keempat, golongan ulama’ yang beropini bahwa aturan asuransi termasuk syubhat (samar-samar) lantaran tidak ada dalil-dalil agama yang secara terang meng-haramkan atau yang meng-halalkan asuransi. Karena itu, perilaku yang diambil ialah ihtiyath (berhati-hati) dalam bekerjasama dengan asuransi.
Alasan yang dijadikan dasar untuk memperlihatkan aturan bahwa asuransi itu mubah, sebagai berikut: [16]
1. Dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak didapati nash/dalil yang secara tegas melarang asuransi.
2. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak: penanggung dan tertanggung.
3. Asuransi dinilai menguntungkan kedua belah pihak.
4. Asuransi merupakan kesepakatan mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
5. Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyyah (semacam koperasi, perjuangan bersama) yang didasarkan atas prinsip-prinsip saling tolong-menolong.
Sedangkan alasan yang dijadikan dasar oleh ulama’ yang beropini bahwa asuransi itu haram:[17]
1. Asuransi sama dengan judi, lantaran tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu menyerupai halnya dalam permainan judi. Singkatnya asuransi ialah perjanjian pertaruhan yang penuh spekulasi.
2. Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian (jahalah dan gharar), lantaran si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah tertentu itu akan diberikan kepada pihak tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada insiden yang telah ditentukan. Mungkin ia akan memperoleh seluruhnya, tetapi mungkin juga tidak akan memperolehnya sama sekali.
3. Asuransi mengandung riba. Karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya lebih besar dari premi yang dibayarkannya kepada perusahaan.
4. Asuransi merupakan suatu perjuangan yang dirancang untuk meremehkan iradat Allah Swt.
Argumentasi ulama yang menyebut asuransi itu ada yang boleh dan ada yang haram: Muhammad Abu Zahrah contohnya membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersil. Abdullah ibn Zaid membolehkan asuransi kecelakaan dan mengharamkan jiwa. Alasannya hampir sama dengan kelompok pertama dan kedua di atas, hanya saja ia mencari titik temu di antara keduanya.[18]
Dengan demikian, aturan asuransi berdasarkan fiqih Islam intinya ialah mubah (boleh), selama tidak terdapat unsur-unsur yang dihentikan oleh syariat Islam, menyerupai riba, gharar, spekulasi dan kecurangan atau ketidakadilan dsb.
D. Kesimpulan
Ø Asuransi merupakan perjuangan saling melindungi dan gotong royong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memperlihatkan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui kesepakatan yang sesuai dengan syari’ah. Prinsip asuransi syari’ah ada sembilan; Tauhid, Keadilan, Tolong Menolong, Kerja sama, Amanah, Kerelaan, Larangan Riba, Larangan Judi, dan Larangan Gharar.
Ø ada 4 pendapat ulama’; Pertama, asuransi hukumnya mubah. Ulama’-ulama’nya; Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Muhammad Al-Bahy, Muhammad Yusuf Musa, Abd Al-Wahab Khalaf, Abd Al-Rahman Isa, dan Muhammad Nezzatullah Shiddiqi. Kedua, asuransi hukumnya haram. Ulama’-ulama’nya ;Isa Abduh, Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Bakhit Ala-Mu’thi dan Yusuf Al-Qardhawi. Ketiga, tafshil tergantung jenis asuransinya. Ulama’-ulama’nya; Abdullah ibn Zaid Ali Mahmud dan Muhammad Abu Zahrah. Keempat, syubhat (samar-samar) lantaran tidak ada dalil yang secara jelas. Karena itu harus ihtiyath (berhati-hati) dalam bekerjasama dengan asuransi. Beberapa jenis asuransi syari’ah; asuransi jiwa, asuransi kerugian, asuransi beasiswa, asuransi dwiguna, dan suransi sosial.
Daftar Pustaka
Antonio, M, Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan. TAZKIA Institute, 1999.
Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Syariah: life and general. (Jakarta, Gema Insani, 2004).
Ali, Hasan. Asuransi dalam perspektif aturan Islam, (Jakarta, prenada media, 2004).
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, cet 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004).
Solahudin, M., Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2006).
.(17/05/2014).
http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/.(17/05/2014)
.(19/05/2014).
.(19/05/2014).
[1] .(19/05/2014).
[2] M. Solahudin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 127.
[3] Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, cet 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hal. 112
[4] .(19/05/2014).
[5] .(17/05/2014).
[6] .(19/05/2014).
[8] M, Syafi’i Antonio. Bank Syariah Wacana Ulama Dan Cendikiawan. TAZKIA Institute, 1999. Hal. 59
[9] Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah: life and general. (Jakarta, Gema Insani, 2004). Hal. 48
[11] http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/.(17/05/2014)
[12] http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/.(17/05/2014)
[13] http://persinggahan1.wordpress.com/prostitusi-dan-perjudian/.(17/05/2014)
[14] .(19/05/2014).
[15] .(19/05/2014).
[16] .(19/05/2014).
[17] .(19/05/2014).
[18] .(19/05/2014).
Advertisement